KEMBALI KE

27 Juli 2011

Puisi-puisi Afrizal Malna

kesepian di lantai 5 rumah sakit

Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa.
Keningnya seperti mau berkata, apakah aku sedang membuat dusta?
Aku menghampirinya, dan mencium bibirnya.
Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu.
Tetapi keningnya mengatakan,
bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh kesepian.

Aku kembali mencium lelaki itu,
seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki itu
berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta.
Aku memeluk lelaki itu di lantai 5 sebuah rumah sakit.
Lelaki itu melihat ambulan datang
dan menerobos begitu saja ke dalam jantungnya.
Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu.

Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu,
lalu aku melihat tubuhku melayang,
batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku.
Aku melihat kesunyian meledak dari seragam seorang suster,
lalu aku tidak melihat ketika tiba-tiba aku
tidak bisa lagi merasakan waktu:
tuhan, jangan tinggalkan kesepian berdiri sendiri
di lantai 5 sebuah rumah sakit.
Lelaki itu tidak tahu apakah kematian itu
sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta.

Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian,
dan membuat ladang bintang-bintang di kaca jendela rumah sakit.
Ciumannya seperti berkata, kesunyian itu,
tidak pernah berdusta kepadamu.
Aku lihat wajah lelaki itu, seperti selimut yang berbau obat-obatan.
Perangkap tikus di bawah bantal.
Dan kau tahu, akulah tahanan dari luka-lukamu.



khotbah di bawah tiang listrik

Aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku.
Angin berhembus seperti tiang gantungan yang menyeret talinya sendiri.
Seorang lelaki, setelah menutup pintu mobilnya, berlari ke tiang listrik.
Suara lubang dari tubuhnya
terdengar mengerikan seperti suara sel penjara jam 11 malam.
Kenapa kau berada di luar khotbah yang kau buat sendiri?
Kenapa ada lendir yang menetes dari jam 11 malam?

Lelaki itu adalah jam 11 malam yang meninggalkan khotbahnya sendiri.
Adalah jam 11 malam yang baru menemukan lubang
sebesar paku di telapak tangannya sendiri,
menyeret kesunyian dari leher tuhan yang telah menciptakan lelaki jam 11 malam.
Bekas kawat berduri di keningnya, dan sisa-sisa nikotin di jari-jari tangannya.
Lelaki itu membersihkan semua vagina untuk menemukan anaknya,
khotbah-khotbah yang selalu ditutup dengan hujan yang digantung di tiang listrik.

Benarkah, tuhan, benarkah aku bisa melihat?
Benarkah aku bisa mendengar?
Benarkah, tuhan, benarkah aku sedang berdiri di bawah tiang listrik ini?
Benarkah aku telah menggantikan khotbah dengan kematianku sendiri,
bukan dengan kematian orang lain.
Benarkah aku sedang berjalan meninggalkanmu,
meninggalkan pakaianku di dalam mobil.
Benarkah tubuhku telah menjadi lantai dalam geraja itu.



antri uang di bank

Seseorang datang menemui punggungku.
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku.



batu dalam sepatu

Selamat pagi Kamsudi, selamat pagi Busro,
selamat pagi Remy dan Aidil yang marah.
Kami masih di sini, di warung sop buntut kemarin,
gelas kopi kemarin, asbak dan kursi plastik kemarin.
Kami masih menjaga sebuah batu yang kami simpan dalam sepatu kami.
Kami memotret tubuh kami sendiri di depan warung kopi,
di samping tong sampah.
Rambut putih yang putus dari kepala kami,
setelah tertawa tertahan, dan hari kemarin masih di sini.

Selamat pagi, waktu.
Selamat pagi semua yang telah menggantikan malam kami
dengan cerita-cerita kecil.
Waktu yang melapukkan atap kamar tidur kami,
sebelum kami sempat terpulas,
mengintip mimpi dari tembok-tembok berjamur.
Hampir 50 tahun kami menunggu hingga sepatu kami
kembali berubah menjadi kulit sapi.
Waktu, seperti makhluk-makhluk asing
yang beranak-pinak dalam tubuh kami.
Puisi yang sampai sekarang tidak tahu bagaimana cara menuliskannya:
12 selimut untuk teman-teman dari Makassar.
12 selimut untuk teman-teman dari Padang dan Lampung.

Dan besok, besok kami akan datang lagi ke warung kemarin,
ke Jalan Cikini kemarin
yang telah menjadikan tubuh kami sebagai percobaan waktu untuk menunggu,
percobaan menunggu untuk bisa melihat,
percobaan melihat untuk mengenal kedatanganmu tak terduga.
Percobaan untuk tetap berada di hari kemarin.
Para gubernur datang dan berganti di kota ini,
seperti permainan dalam kota-kota kolonial.
Membuat peti telur untuk puisi dan teater.

Kemarin. Kami—kami tidak pernah tahu tentang hari ini dan hari esok.
Dan batu lebih dalam lagi, lebih keras lagi,
antara sepatu dan kulit sapi.
Batu—untuk semua negeri yang terlalu curiga pada kebebasan,
pada kemiskinan dan orang-orang yang masih tetap berjalan dengan kakinya.


kartu identitas penduduk di china
untuk lan zhenghui

Aku sudah menyiapkan tas ransel,
mesin pencukur jenggot,
dan sebuah kebangsaan yang dipotret di kantor kecamatan.
Setiap terbangun, aku takut ketinggalan pesawat.
Atau menemukan diriku sedang bercinta
dengan bahasa China di kamar orang lain.
Hari Selasa kemarin tidak datang. Besok masih besok.
Kemarin entah ke mana sebelum hari Minggu.
Hari Selasa masih menunggu kemarin yang tidak datang.
Hari Selasa bukan hari Selasa kalau belum hari Selasa.

Besok, hari Selasa mulai akan melubangi bayanganku dari punggungku,
untuk mendengar bahasa China dari sipit mataku hingga hardware komputerku.
Besok masih besok sebelum kemarin.
Hari Selasa tidak menyimpan 100 tahun
dari ketakutan setiap generasi pada Kartu Identitas Penduduk,
pendidikan dan lapangan kerja.
Orang-orang membuat rumah untuk berdusta.
Menjeritkan generasi yang berceceran di tangga eskalator.
Dan menjeritkan lagi ketakutan mereka di atas great wall.
Sejarah seperti obeng dan gergaji yang menjauhkan manusia dari tangan-tangan waktu.

Apakah kamu dari Indonesia?
Tanya supir taksi. Ya jawabku.
Seperti menjawab suara jeritan dari toko-toko yang terbakar di Jakarta.
Perempuan mereka yang ditelanjangi dan diperkosa.
Tubuh-tubuh yang berubah menjadi arang hitam.
Sejarah yang mengambil tangan kita,
dan membenamkannya kembali berulang ke dalam luka yang sama.
Luka yang kembali bertanya: Apakah kamu dari Indonesia?

Pagi itu kabel-kabel listrik di jalan masih menahan dingin,
melepaskan sisa-sisa malam, lemak dan kembang api olimpiade.
Seorang teman memesan topi Mao.
Apa yang aku kenang tentang negeri ini dari great wall,
topi bulu musang dari Mongol, teguran politik dari Tibet,
air terjun manusia yang tumpah
dari lubang langit – hingga manajemen komunis
yang mengatur penghasilan penduduk sampai kamar hotelku.

Zhenghui, aku mengagumi lukisanmu,
yang kembali ke kertas bubur beras dan tinta China.
Angin menjelang musim dingin mulai menyapa leherku.


Stasiun Terakhir
Untuk Slamet Gundono

Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku. Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan apapun.

30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang dan berebut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit, seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku muntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin mendapatkan nama dari kerinduan.

Aku hidup bersama Bisma yang berjalan dengan 1000 panah di punggungnya, kesetiaan dan kejujuran buta 23.000 kaki di atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan, seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan pecah dan belum pecah.

Telapak tanganku telah penuh cairan ludahku sendiri. Satu mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku. Aku lihat tubuhku dalam TV seperti sebuah negeri yang sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam celana.

Di stasiun terakhir itu, aku menggambar paru-paruku sendiri, tanah terus mengelupas tak henti-henti mengelupas tanah mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang- wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku dan belum berjatuhan.



Naik Motor ke Suroloyo

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu. Besok kita akan ke gunung lagi besok, melihat kabut memindah-mindahkan kaki gunung. Jiwa di puncaknya yang tetap ingin sendiri, yang ingin menggunakan suara-suara serangga sebagai telinganya. Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari. Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit. Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing. Besok kita akan menjadi kunang-kunang, menziarahi orang- orang gua dari mata air. Melihat kabut perak turun seperti sihir dari kesunyian. Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya. Yang mendengar bau gunung dari dongeng- dongeng tua. Yang mendengar suara motor membelah bukit. Yang mendengar bau bunga melati di telapak tangannya. Dan aku memotretmu dari atas bukit ini ke bawah, ke bawah, ke bawah, tempat kunang-kunang menanam bintang.



Berita Rahasia dari Darmo Gandul

Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia baik ia mengatakan. Dan aku menyimpan lidahku di dahan pohon randu di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang indah ia mengatakan. Dan aku menyimpan mataku dalam sebuah lampu neon di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang mengucapkan selamat datang kepada setiap yang datang ia mengatakan. Dan aku menyimpan kakiku dalam sebuah batu tempat hantu-hantu mengenang manusia.

Aku ingin jadi manusia yang mengatakan semoga kamu selamat kepada setiap orang yang ditemui ia mengatakan 100 tahun. Dan aku menyimpan tanganku di sebuah sungai tempat ikan-ikan dan pasir mengenang manusia. Kini tubuhku tanpa mata lidah kaki tangan aku simpan dalam hujan di halaman belakang rumahku. Aku berbisik pada ginjal dan paru-paruku aku berbisik pada jantung dan ususku aku berbisik ... kaulah hujan dari sebuah senja yang belum pernah diciptakan.

Kini kau bawa senja itu sebuah telinga dari keheningan paling bening. Telinga yang terbuat dari rumah yang telah dihancurkan dari tanah yang mengeras angin yang tidak bisa lagi berhembus. Daun-daun membuat pohon dari awan. Aku memasuki berita rahasia untuk melupakan diri sendiri. Dan besok–mari–aku telah menjadi dia yang melupakan bahasa.



Mantel Hujan Dua Kota

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan- bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta masih menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji- anji.

Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda jam 6 pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunungsebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini

Tidak ada komentar: