KEMBALI KE

26 April 2011

Modus Eksistensi Beragama

Oleh Yonky Karman (Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta)

Fanatisme beragama kini menyeruak di ruang publik. Agama terang-terangan dipakai dalam proyek delegitimasi ideologi dan hukum negara. Negara dianggap sekuler, pejabatnya dajal, hukumnya bertentangan dengan agama, dan polisinya tentara setan.

Ironisnya, pemerintah dan organnya sibuk menghakimi kelompok agama yang secara ideologis tak berbahaya. Namun, radikalisme agama dalam bentuk kekerasan dan subversif tidak ditindak tegas.

Pembangunan ekonomi tidak sama dengan pembangunan masyarakat jika pertumbuhan ekonomi memperlebar jurang kaya dan miskin. Maka, sosialisme memiliki visi membangun masyarakat baru dengan mengubah struktur sosial, tetapi tanpa perubahan watak individual.

Agama memiliki visi membangun masyarakat baru dengan mengubah watak individual, tetapi tanpa perubahan struktur sosial. Erich Fromm melihat korelasi struktur sosial dan watak sosial hasil bentukan agama (Memiliki dan Menjadi, 162-69). Hal serupa jadi visi sosialisme religius dari tokoh nasional, seperti Bung Hatta, Agus Salim, dan Wahid Hasyim.

Sebagai gagasan, agama merupakan kerangka orientasi individu untuk memahami dunia. Orang menempatkan diri dan dan menjalani hidupnya di dunia sebagaimana dipahaminya. Sejauh peta kehidupan itu sesuai dengan realitas, orang terbebas dari kontradiksi beragama. Sayang, agama di Indonesia belum jadi modal sosial dalam membangun kultur demokratis dan membangun masyarakat.

Komodifikasi agama

Pemiskinan hidup terjadi dengan modus eksistensi memiliki dalam beragama. Seperti dalam berbelanja, masyarakat juga bisa konsumtif beragama. Pilihan pemuas hasrat rohani tersedia dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Motivator kecerdasan spiritual memanfaatkan agama sebagai solusi cepat mengatasi masalah dan meraih sukses. Agama dapat direduksi menjadi satu set ajaran penanda identitas yang dipahami secara teknis dan harus dibela dengan kekuatan fisik.

Karakter misteri sebagai inti agama disangkal. Agama diperlakukan seperti milik berharga yang memberi rasa bangga dan superior bagi pemiliknya sekaligus membuatnya sensitif dan mudah tersinggung. Namun, fanatisme mengalienasi subyek dari keyakinan agama dan subyek dikuasai tirani keyakinan (Gabriel Marcel, Being and Having, 166).

Agama industri siap berkompetisi dan menaklukkan. Kebanggaan beragama bukan dalam kerendahan hati, melayani sesama, dan berkorban tanpa pamrih; bukan dalam modus eksistensi menjadi. Orang membendakan agama untuk dibela, bukan untuk mengaryakan dan mengamalkan kebaikannya.

Agama dipahami secara fungsional sebagai jalan kesejahteraan di dunia ataupun akhirat. Maka, beragama identik dengan watak lemah, sikap kurang bertanggung jawab, dan fatalis. Doa bersama mengganti kerja keras dalam belajar. Kemiskinan dimaknai jalan bertakwa. Mengubah kemiskinan tak termasuk ibadah. Tak mengapa miskin asal masuk surga sekalipun jalannya mati syahid. Kemiskinan pun jadi lahan subur radikalisme agama.

Ada yang membiarkan hidupnya tak dipengaruhi agama, agama KTP ataupun bermuka dua dalam beragama (munafik). Namun, sikap fanatik dapat kontradiktif dengan hakikat agama dan melawan rasionalitas. Agama untuk menghakimi sesama. Orang beragama menghalalkan keberingasan dan pelanggaran hak (milik dan hidup), menghalangi terwujudnya masyarakat demokratis. Salah satu kekuatan agama adalah memberi motivasi untuk hidup dan berbagi hidup dengan sesama. Agama dalam modus eksistensi akan membuat orang lebih manusiawi dan cinta sesama. Namun, pemanfaatan agama secara lahiriah melumpuhkan daya kerjanya di wilayah batin.

Politisasi agama

Daripada tampil efisien, birokrat kita memilih wajah teokrat. Yang berteologi semestinya individu dan organisasi keagamaan, bukan negara. Namun, negara telah terjebak untuk ikut-ikutan berteologi untuk mengambil hati massa mayoritas. Masyarakat pun dininabobokan dengan politisasi agama. Sekelompok masyarakat dibiarkan bermain api dengan fanatisme keagamaan dan melakukan intimidasi sampai akhirnya tingkat kewaspadaan negara dinyatakan siaga satu.

Negara kebangsaan secara moral harus menjaga jarak dengan keyakinan agama warga sejauh yang bersangkutan tidak melanggar ketertiban umum, tidak mengarahkan dan memaksa warga untuk beragama. Warga tak perlu kehilangan jaminan rasa aman dan keselamatannya hanya karena soal agama.

Sayang, pemerintah tak konsisten di posisi netral. Pelanggaran hukum terkait agama mayoritas lebih dilihat sebagai kekhilafan dan proses hukumnya tidak serius. Daripada mengawal praksis beragama dalam pembentukan watak sosial, agama diperalat sebagai komoditas politik.

Tampilan religius dipakai untuk merebut hati rakyat dan menutupi kegagalan politik kesejahteraan. Kebijakan politik dibiarkan memihak dan didikte kelompok mayoritas. Potret religius birokrasi tak ada hubungan dengan penurunan tingkat korupsi. Beragama tak membuat orang takut korupsi. Beragama tidak menyurutkan naluri hedonis anggota Dewan untuk mendapat fasilitas iPad meski sepantasnya itu dibeli dari gaji mereka yang lebih dari cukup. Keimanan yang terpisah dari kehidupan sosial memubazirkan kekuatan agama untuk membentuk watak sosial dan kemudian mendorong perubahan sosial.

Pemerintah harus fokus mengurus kepentingan dan ketertiban umum menjadi perekat kesatuan bangsa. Pemerintah boleh memfasilitasi keperluan agama demi perkembangannya, tetapi tak boleh menghambat. Pemerintah boleh memberdayakan agama demi peningkatan etos kerja, etika profesi, dan produktivitas bangsa. Dengan menjaga netralitas, barulah negara dapat mengayomi dengan adil dan meredam fanatisme keagamaan yang secara ideologis berbahaya.

Tidak ada komentar: