KEMBALI KE

24 Oktober 2011

Orang Rimba Partie

Jika tak ada lagi yang peduli, teruslah. Jual habis saja negri ini, biar nanti, di tahun-tahun mendatang, tangis dan ratap di pintu kubur yang akan mengasihi hidup anak-cucu, yang gemetar dibantai alam





Selengkapnya...

23 Oktober 2011

Kebhinnekaan ala Televisi

Oleh: Louvikar Alfan Cahasta

“Nyebrangnye bae-bae, entar ketabrak. Lu kan gelap.”

LELUCON rasial itu, oleh seorang supir bajaj, ditujukan kepada Minus dalam Keluarga Minus (Trans TV). Minus Caroba orang Papua. Sebagai tokoh sentral dalam tayangan yang memakai namanya ini, Minus dikisahkan tinggal bersama pamannya di Jakarta. Sang paman, bekerja sebagai pegawai Dinas Pariwisata dan membuka usaha warung makan yang dikelola oleh istrinya yang berasal dari Minang. Di warung itu, istrinya dibantu seorang pegawai asal Jawa bernama Paijo.

Suatu ketika, tante Minus mendapat pesanan nasi bungkus dalam jumlah besar. Paman Minus sudah mengingatkan istrinya, jika tidak mampu memenuhi permintaan pelanggan, tidak perlu memaksakan diri. Tapi sang istri ngotot. Maka itu, ia butuh tenaga bantuan untuk belanja ke pasar. Paijo menawarkan diri, “Siap. Yang penting sediakan duit bajaj, duit konsumsi, dan duit jalan.” Tante Minus menolak tawaran Paijo, “Lebih baik sama Minus saja. Lebih hemat.” Namun nasib sial menimpa Minus: daging yang sudah dibeli terbawa oleh bajaj yang ditumpanginya.

Dari cungkilan di atas, tante Minus (Minang) digambarkan sebagai sosok yang pelit dan serakah. Paijo (Jawa), memainkan karakter yang materialis, orang yang mementingkan uang. Minus (Papua), diidentifikasikan sebagai orang yang lugu dan bodoh. Keluarga Minus telah mengembangkan “konstruksi stereotip”, narasi berdasarkan prasangka etnis. Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Menurut Burton (2007), komedi dalam televisi ingin mengeksploitasi stereotip untuk membuat lucu karakter. Jika pemirsa Keluarga Minus tertawa, itu tandanya Trans TV telah berhasil melakukan eksploitasi stereotip dengan baik.

Prasangka etnis tidak terlepas dari hubungan sosial-ekonomi yang timpang. Ada kelompok etnik yang dipersepsikan lebih dominan dari kelompok etnik yang lain. Kondisi sosial ekonomi seseorang atau beberapa orang, digeneralisir menjadi kondisi sosial ekonomi suatu etnis. Kelompok etnis (yang dianggap) berkuasa secara ekonomi, dihadapkan dengan kelompok etnis (yang dianggap) dikuasai. Salah dua serial FTV di SCTV, Gara-gara Gino (27 September 2011) dan Seandainya Aku Bukan Gue (4 Oktober 2011) merupakan contoh lain konstruksi narasi dengan prasangka etnis: ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang dilekatkan pada identitas etnis. Etnis A yang angkuh dan kaya dipertentangkan dengan etnis B yang lugu dan miskin.

Tak hanya pertentangan etnis, televisi juga mempertontonkan pertentangan budaya. Contohnya ada dalam Ethnic Runaway di Trans TV (baca Mereka Bukan Primitif, Surat Terbuka Remotivi kepada Trans TV Atas Tayangan “Primitive Runaway”, dan Trans TV Meminta Maaf Atas Tayangan “Primitive Runaway” untuk mengetahui riwayatnya). Konsep tayangannya adalah dua orang artis tinggal dan beraktivitas bersama komunitas masyarakat adat. Berikut adalah beberapa ungkapan yang muncul dari sang artis pada episode Suku Lom di Bangka (24 September 2011): “Wah Viki nyari sinyal, buang aja buang (ponselnya)”, “Kebayang ‘kan gelapnya di sini, enggak ada lampu”, “Sukurin lu tidur di tiker”, dan “Kenapa sih mau buang air aja harus ke hutan?”. Gambar-gambar yang ditampilkan tak kalah heboh. Ada adegan sang artis berteriak histeris dan lari ketakutan ketika malam hari ia diantar ke tempat yang gelap di luar rumah. Ada pula gambar seorang anggota Suku Lom yang begitu kegirangan ketika dipasangkan headphone milik sang artis.

Rangkaian dialog dan gambar yang ditampilkan, sesungguhnya menegaskan bahwa, “Saya dan Anda berbeda!” Sang artis begitu terbiasa berada di wilayah yang penuh oleh sinyal telekomunikasi, buang air di toilet yang bersih dan wangi, dan hidup dalam ingar-bingar cahaya lampu. Yang ditonjolkan Ethnic Runaway adalah perbedaan, bukan keberagaman. Mengkonstruksi narasi bahwa mereka hidup dalam ketertinggalan peradaban. Menganggap masayarakat adat sebagai liyan (the others). Seperti banyaknya tayangan lain yang menjual iba dan liyan, yang dilakukan bukan “mengabarkan”, tapi “mempertontonkan” (Sunardi dalam Totona, 2010).

Sulit memang menghindarkan televisi dari konsep representasi. Televisi berkehendak membangun sebuah konstruksi melalui representasi, membangun pemahaman tertentu atas sebuah realita. Neil Casey, et.al (2002), menjelaskan, “Representasi, tidak peduli seberapa ‘realistis’ tayangannya. Yang kita lihat di layar merupakan hasil konstruksi, terkait keputusan tentang apa yang harus direkam, di mana menempatkan kamera, bagaimana mengedit materi yang ada, dan sebagainya” (terjemahan bebas dari Television Studies The Key Concepts). Alih-alih merepresentasi keberagaman etnis dan budaya secara ‘nyata’, televisi justru telah keliru dalam menerjemahkannya.

Tidak hanya di Indonesia, serial TV BBC Knowledge yang ditayangkan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat, Mark & Olly: Living with the Machingenga, pernah dituding telah melakukan kesalahan interpretasi mengenai kehidupan suku Matisgenka yang hidup di hutan Amazon. Suku itu dianggap buas dan kejam (periksa: vhrmedia.com).

Televisi, secara terselubung maupun terang-terangan, telah membangun narasi tentang ketidaksetaraan! Mengidentifikasikan suatu etnis dengan karakter atau sifat tertentu. Mendiskriminasikan suatu budaya ketika berhadapan dengan budaya lain. Ada etnis dan budaya yang diposisikan lebih tinggi dibanding etnis dan budaya lain. Dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat ditegaskan bahwa semua doktrin, kebijakan-kebijakan, dan tindakan yang berdasar pada pembelaan superioritas orang-orang atau individu-individu dalam basis perbedaan negara asal atau ras, agama, etnik atau budaya adalah rasis, salah secara ilmu, tidak valid menurut hukum, salah secara moral, dan tidak adil secara sosial.

Dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia, televisi dapat memperhatikan beberapa prinsip untuk dapat memperpendek jarak representasi dengan ‘kenyataan’, demi memanusiakan manusia yang terkena dampak langsung dari representasi.

Pertama, “Partisipasi”: sejauh mana keterlibatan entitas sebuah budaya dalam membangun narasi tentang kebudayaannya. Ketika tidak dilibatkan, besar kemungkinan narasi yang dibangun tidak bersinggungan dengan kepentingan masyarakatnya. Televisi harus memberikan ruang yang memadai bagi suara-suara yang merepresentasikan suatu entitas budaya.

Program dokumenter Bumi dan Manusia di TV ONE mengenai suku Orang Laut di Sulawesi Tenggara, misalnya, cukup baik dalam memberikan ruang bagi masyarakat Orang Laut untuk bercerita mengenai kebudayaannya: merepresentasi dan mengkonstruksi budayanya sendiri. Tanah Air di Kompas TV, sebagai contoh lain, juga memberi porsi partisipasi yang memadai bagi kelompok masyarakat yang diliput. Seperti tampak dalam episode Ritual Seren Taun Guru Bumi di Kampung Budaya Sindangbarang, Cianjur, Jawa Barat: masyarakat adat setempat menceritakan sendiri proses, konsep, dan nilai yang terkandung dalam ritual upacara adat Seren Taun.

Prinsip kedua adalah “Akuntabilitas”: sejauh mana upaya televisi dalam menggugat negara sebagai pemangku kewajiban dalam upaya penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Komentar Umum No. 21, sebagai penjabaran dari Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dapat juga menjadi acuan lain: televisi memiliki peran untuk mempertanyakan, apakah negara, misalnya, telah mempromosikan praktek-praktek hak berasosiasi bagi kelompok minoritas budaya dan linguistik untuk pengembangan hak-hak budaya dan linguistik. Untuk perlindungan, apakah negara telah melaksanakan kewajiban untuk melindungi produk kultural yang dihasilkan oleh masyarakat, termasuk pengetahuan tradisional, obat-obatan alam, cerita rakyat, ritual dan bentuk ekspresi lainnya. Terkait dengan media, apakah negara telah menjamin bahwa media telah mencerminkan keberagaman kebudayaan masyarakat secara memadai.

Prinsip selanjutnya adalah “Pemberdayaan”. Televisi seharusnya dapat memproduksi tayangan yang berorientasi pada pemberdayaan, bukan yang bersifat melecehkan atau merendahkankan derajat dan martabat manusia. Program dokumenter di stasiun televisi ABC di Australia, Message Stick, bisa dijadikan referensi..Salah satu episodenya mengangkat tema mengenai penggunaan beragam media sosial sebagai media komunikasi antar masyarakat. Televisi dan radio yang dikelola oleh sebuah komunitas, berhasil mengambil peran sebagai media informasi dan komunikasi yang bermanfaat dalam proses penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mereka. Media-media komunitas itu juga bermanfaat dalam preservasi bahasa dan budaya.

Maka, televisi sebagai ruang publik, berkewajiban untuk menerjemahkan realitas publik dan berkontribusi terhadap penyelesaian persoalan-persoalan publik. Menanggalkan konstruksi narasi dengan prasangka etnis, bukan mengukuhkan. Memberdayakan keberagaman etnis dan budaya, bukan mendiskreditkan. Merepresentasikan keberagaman etnis dan budaya dengan lebih manusiawi dan tidak diskriminatif.
Selengkapnya...

05 September 2011

SAJAK W. S. RENDRA

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTRINYA

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua, 1972
Selengkapnya...

26 Agustus 2011

Redefinisi Kesaktian Pancasila

Oleh Yonky Karman

DEFINISI kesaktian Pancasila tak terpisah dari politik global saat itu yang membelah dunia menjadi Blok Barat (demokrasi) dan Blok Timur (komunisme).

Sedini tahun 1958 pemerintahan Eisenhower telah mengidentifikasi tiga krisis besar di wilayah yang juga produsen minyak: Indonesia, Afrika Utara (Aljazair), dan Timur Tengah. Soekarno selaku tokoh Gerakan Nonblok dituding terlalu banyak memberikan ruang demokrasi di Indonesia sehingga partai berbasis petani miskin kian berpengaruh (Noam Chomsky, Hegemony or Survival: America’s Quest for Global Dominance, 163).

Sesudah rezim Soeharto tumbang, mulai terkuak bahwa definisi kesaktian Pancasila tak lepas dari kepentingan penanam modal asing. Pancasila belum benar-benar sakti secara sosial. Kini Blok Timur telah runtuh. Selain oleh fundamentalisme pasar, kesaktian Pancasila juga diuji oleh fundamentalisme agama.

Persatuan bangsa

Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi fondasi kuat bagi bangunan negara Indonesia. Gedung Indonesia Merdeka berdiri di atas ”pikiran sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya” itu, Weltanschauung, philosophische grondslag.

Indonesia yang dicita-citakan sang proklamator bukan negara untuk golongan mayoritas etnis ataupun agama, bukan untuk kaum bangsawan ataupun golongan kaya, melainkan negara untuk semua golongan. Negara kebangsaan dengan rakyatnya yang bersatu karena diikat perasaan senasib dan hidup dalam kesatuan geopolitik yang terbentang dari ujung Sumatera hingga Papua.

Oleh karena itu, dasar pertama yang diajukan Soekarno awalnya adalah kebangsaan Indonesia. Kejelasan identitas bangsa bukan nasionalisme yang merendahkan bangsa lain. Dalam kesadaran sebagai bagian kecil dari bangsa-bangsa di dunia, Indonesia juga tak perlu menutup diri. Nasionalisme tumbuh subur di dalam taman sari internasionalisme, dasar kedua, dan internasionalisme tumbuh subur di bumi nasionalisme.

Bangsa yang terdiri dari berbagai komponen dan rawan silang pendapat perlu memiliki mekanisme pengambilan keputusan tanpa mengorbankan kesatuan bangsa. Mufakat menjadi dasar ketiga. Rakyat memiliki wakil di lembaga perwakilan dan mereka memperjuangkan aspirasi rakyat dengan permusyawaratan.

Tujuan semuanya itu adalah kesejahteraan sosial, dasar keempat. Kekayaan negeri tidak untuk dinikmati sebagian kecil kaum kapitalis. Berbeda dari demokrasi Barat, demokrasi politik/liberal, Pancasila menggagas demokrasi politik plus demokrasi ekonomi.

Terakhir, dasar ketuhanan. Indonesia dicita-citakan sebagai tanah subur untuk ragam agama dan iman tanpa menjadi negara agama. Umat hidup berdampingan, saling menghormati, menanggalkan egoisme kelompok, menjalankan agama dengan cara berkeadaban dan keluhuran budi pekerti. Semua agama berperan dalam pembangunan. Sosialisme Indonesia berciri religius.

Jika Pancasila diperas menjadi tiga, Soekarno merincinya sebagai nasionalisme berwajah sosial, demokrasi sosial, dan ketuhanan. Jika diperas lagi menjadi satu, gotong royonglah inti bernegara. Tujuan Pancasila memang untuk mempersatukan rakyat agar bahu-membahu mendukung kemajuan Indonesia.

Transformasi bangsa

Formulasi dan urutan Pancasila yang kemudian berlaku sampai sekarang adalah ketuhanan sebagai sila pertama dan keadilan sosial sebagai sila kelima. Urutan ini ternyata membuat kita sering terpaku pada sila pertama dan tidak kunjung sampai ke klimaks Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sesudah era Soekarno berakhir, kemandirian politik dan ekonomi Indonesia kian hilang. Ekonomi bertumbuh tanpa keadilan sosial. Hiruk-pikuk demokrasi politik tanpa demokrasi sosial. Pemerataan hasil pertumbuhan masih menjadi tugas berat negara. Indonesia tak dapat mengelak dari visi negara kesejahteraan.

Untuk itu, negara harus maksimal memperkuat ketahanan pangan dan energi. Upaya itu mendapat tantangan serius di tengah ancaman perubahan iklim dan cuaca yang tak bersahabat. Negara juga harus konsisten dengan reformasi birokrasi. Demoralisasi tengah melanda penegak hukum. Elemen-elemen primordial yang anarki dengan berani menantang otoritas negara. Keindonesiaan sedang luntur.

Berhadapan dengan hegemoni negara adidaya yang ditumpangi kepentingan kapitalisme global, negara kuat juga menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu, penyelenggara negara seharusnya contoh pertama insan pancasilais.

Jepang sempat hancur semasa Perang Dunia Kedua. Namun, negeri itu cepat pulih dan bangkit menjadi kekuatan adidaya di Asia. Inovasi teknologinya menyaingi Barat. Kebangkitan itu didukung kehadiran manusia baru Jepang, generasi yang haus ilmu sekaligus cinta tanah air.

Perubahan struktur politik dan sosial selama Restorasi Meiji (1866-1869) membuat Jepang yang tadinya tertutup menjadi terbuka. Namun, Meiji-ishin tidak membuat bangsa Jepang kebarat-baratan. Mereka tetap Jepang, tetapi modern. Kaum intelektualnya berkarya dengan semangat samurai. Modernisasi Jepang disengajakan dari atas, dari elite penguasa yang sadar pentingnya kemajuan bangsa dan melakukan asketisme politik.

Pancasila baru benar-benar sakti jika nyata dalam kehidupan manusia baru Indonesia. Birokrasi benar-benar melayani rakyat. Hasrat mengabdi lebih besar daripada hasrat berkuasa. Bangsa benar-benar takut Tuhan. Orientasi beragama adalah kesejahteraan bersama. Kaum intelektual berorientasi pada kepentingan publik.

Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Selengkapnya...

27 Juli 2011

Puisi-puisi Afrizal Malna

kesepian di lantai 5 rumah sakit

Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa.
Keningnya seperti mau berkata, apakah aku sedang membuat dusta?
Aku menghampirinya, dan mencium bibirnya.
Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu.
Tetapi keningnya mengatakan,
bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh kesepian.

Aku kembali mencium lelaki itu,
seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki itu
berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta.
Aku memeluk lelaki itu di lantai 5 sebuah rumah sakit.
Lelaki itu melihat ambulan datang
dan menerobos begitu saja ke dalam jantungnya.
Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu.

Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu,
lalu aku melihat tubuhku melayang,
batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku.
Aku melihat kesunyian meledak dari seragam seorang suster,
lalu aku tidak melihat ketika tiba-tiba aku
tidak bisa lagi merasakan waktu:
tuhan, jangan tinggalkan kesepian berdiri sendiri
di lantai 5 sebuah rumah sakit.
Lelaki itu tidak tahu apakah kematian itu
sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta.

Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian,
dan membuat ladang bintang-bintang di kaca jendela rumah sakit.
Ciumannya seperti berkata, kesunyian itu,
tidak pernah berdusta kepadamu.
Aku lihat wajah lelaki itu, seperti selimut yang berbau obat-obatan.
Perangkap tikus di bawah bantal.
Dan kau tahu, akulah tahanan dari luka-lukamu.



khotbah di bawah tiang listrik

Aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku.
Angin berhembus seperti tiang gantungan yang menyeret talinya sendiri.
Seorang lelaki, setelah menutup pintu mobilnya, berlari ke tiang listrik.
Suara lubang dari tubuhnya
terdengar mengerikan seperti suara sel penjara jam 11 malam.
Kenapa kau berada di luar khotbah yang kau buat sendiri?
Kenapa ada lendir yang menetes dari jam 11 malam?

Lelaki itu adalah jam 11 malam yang meninggalkan khotbahnya sendiri.
Adalah jam 11 malam yang baru menemukan lubang
sebesar paku di telapak tangannya sendiri,
menyeret kesunyian dari leher tuhan yang telah menciptakan lelaki jam 11 malam.
Bekas kawat berduri di keningnya, dan sisa-sisa nikotin di jari-jari tangannya.
Lelaki itu membersihkan semua vagina untuk menemukan anaknya,
khotbah-khotbah yang selalu ditutup dengan hujan yang digantung di tiang listrik.

Benarkah, tuhan, benarkah aku bisa melihat?
Benarkah aku bisa mendengar?
Benarkah, tuhan, benarkah aku sedang berdiri di bawah tiang listrik ini?
Benarkah aku telah menggantikan khotbah dengan kematianku sendiri,
bukan dengan kematian orang lain.
Benarkah aku sedang berjalan meninggalkanmu,
meninggalkan pakaianku di dalam mobil.
Benarkah tubuhku telah menjadi lantai dalam geraja itu.



antri uang di bank

Seseorang datang menemui punggungku.
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku.



batu dalam sepatu

Selamat pagi Kamsudi, selamat pagi Busro,
selamat pagi Remy dan Aidil yang marah.
Kami masih di sini, di warung sop buntut kemarin,
gelas kopi kemarin, asbak dan kursi plastik kemarin.
Kami masih menjaga sebuah batu yang kami simpan dalam sepatu kami.
Kami memotret tubuh kami sendiri di depan warung kopi,
di samping tong sampah.
Rambut putih yang putus dari kepala kami,
setelah tertawa tertahan, dan hari kemarin masih di sini.

Selamat pagi, waktu.
Selamat pagi semua yang telah menggantikan malam kami
dengan cerita-cerita kecil.
Waktu yang melapukkan atap kamar tidur kami,
sebelum kami sempat terpulas,
mengintip mimpi dari tembok-tembok berjamur.
Hampir 50 tahun kami menunggu hingga sepatu kami
kembali berubah menjadi kulit sapi.
Waktu, seperti makhluk-makhluk asing
yang beranak-pinak dalam tubuh kami.
Puisi yang sampai sekarang tidak tahu bagaimana cara menuliskannya:
12 selimut untuk teman-teman dari Makassar.
12 selimut untuk teman-teman dari Padang dan Lampung.

Dan besok, besok kami akan datang lagi ke warung kemarin,
ke Jalan Cikini kemarin
yang telah menjadikan tubuh kami sebagai percobaan waktu untuk menunggu,
percobaan menunggu untuk bisa melihat,
percobaan melihat untuk mengenal kedatanganmu tak terduga.
Percobaan untuk tetap berada di hari kemarin.
Para gubernur datang dan berganti di kota ini,
seperti permainan dalam kota-kota kolonial.
Membuat peti telur untuk puisi dan teater.

Kemarin. Kami—kami tidak pernah tahu tentang hari ini dan hari esok.
Dan batu lebih dalam lagi, lebih keras lagi,
antara sepatu dan kulit sapi.
Batu—untuk semua negeri yang terlalu curiga pada kebebasan,
pada kemiskinan dan orang-orang yang masih tetap berjalan dengan kakinya.


kartu identitas penduduk di china
untuk lan zhenghui

Aku sudah menyiapkan tas ransel,
mesin pencukur jenggot,
dan sebuah kebangsaan yang dipotret di kantor kecamatan.
Setiap terbangun, aku takut ketinggalan pesawat.
Atau menemukan diriku sedang bercinta
dengan bahasa China di kamar orang lain.
Hari Selasa kemarin tidak datang. Besok masih besok.
Kemarin entah ke mana sebelum hari Minggu.
Hari Selasa masih menunggu kemarin yang tidak datang.
Hari Selasa bukan hari Selasa kalau belum hari Selasa.

Besok, hari Selasa mulai akan melubangi bayanganku dari punggungku,
untuk mendengar bahasa China dari sipit mataku hingga hardware komputerku.
Besok masih besok sebelum kemarin.
Hari Selasa tidak menyimpan 100 tahun
dari ketakutan setiap generasi pada Kartu Identitas Penduduk,
pendidikan dan lapangan kerja.
Orang-orang membuat rumah untuk berdusta.
Menjeritkan generasi yang berceceran di tangga eskalator.
Dan menjeritkan lagi ketakutan mereka di atas great wall.
Sejarah seperti obeng dan gergaji yang menjauhkan manusia dari tangan-tangan waktu.

Apakah kamu dari Indonesia?
Tanya supir taksi. Ya jawabku.
Seperti menjawab suara jeritan dari toko-toko yang terbakar di Jakarta.
Perempuan mereka yang ditelanjangi dan diperkosa.
Tubuh-tubuh yang berubah menjadi arang hitam.
Sejarah yang mengambil tangan kita,
dan membenamkannya kembali berulang ke dalam luka yang sama.
Luka yang kembali bertanya: Apakah kamu dari Indonesia?

Pagi itu kabel-kabel listrik di jalan masih menahan dingin,
melepaskan sisa-sisa malam, lemak dan kembang api olimpiade.
Seorang teman memesan topi Mao.
Apa yang aku kenang tentang negeri ini dari great wall,
topi bulu musang dari Mongol, teguran politik dari Tibet,
air terjun manusia yang tumpah
dari lubang langit – hingga manajemen komunis
yang mengatur penghasilan penduduk sampai kamar hotelku.

Zhenghui, aku mengagumi lukisanmu,
yang kembali ke kertas bubur beras dan tinta China.
Angin menjelang musim dingin mulai menyapa leherku.


Stasiun Terakhir
Untuk Slamet Gundono

Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku. Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan apapun.

30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang dan berebut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit, seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku muntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin mendapatkan nama dari kerinduan.

Aku hidup bersama Bisma yang berjalan dengan 1000 panah di punggungnya, kesetiaan dan kejujuran buta 23.000 kaki di atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan, seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan pecah dan belum pecah.

Telapak tanganku telah penuh cairan ludahku sendiri. Satu mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku. Aku lihat tubuhku dalam TV seperti sebuah negeri yang sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam celana.

Di stasiun terakhir itu, aku menggambar paru-paruku sendiri, tanah terus mengelupas tak henti-henti mengelupas tanah mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang- wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku dan belum berjatuhan.



Naik Motor ke Suroloyo

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu. Besok kita akan ke gunung lagi besok, melihat kabut memindah-mindahkan kaki gunung. Jiwa di puncaknya yang tetap ingin sendiri, yang ingin menggunakan suara-suara serangga sebagai telinganya. Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari. Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit. Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing. Besok kita akan menjadi kunang-kunang, menziarahi orang- orang gua dari mata air. Melihat kabut perak turun seperti sihir dari kesunyian. Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya. Yang mendengar bau gunung dari dongeng- dongeng tua. Yang mendengar suara motor membelah bukit. Yang mendengar bau bunga melati di telapak tangannya. Dan aku memotretmu dari atas bukit ini ke bawah, ke bawah, ke bawah, tempat kunang-kunang menanam bintang.



Berita Rahasia dari Darmo Gandul

Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia baik ia mengatakan. Dan aku menyimpan lidahku di dahan pohon randu di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang indah ia mengatakan. Dan aku menyimpan mataku dalam sebuah lampu neon di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang mengucapkan selamat datang kepada setiap yang datang ia mengatakan. Dan aku menyimpan kakiku dalam sebuah batu tempat hantu-hantu mengenang manusia.

Aku ingin jadi manusia yang mengatakan semoga kamu selamat kepada setiap orang yang ditemui ia mengatakan 100 tahun. Dan aku menyimpan tanganku di sebuah sungai tempat ikan-ikan dan pasir mengenang manusia. Kini tubuhku tanpa mata lidah kaki tangan aku simpan dalam hujan di halaman belakang rumahku. Aku berbisik pada ginjal dan paru-paruku aku berbisik pada jantung dan ususku aku berbisik ... kaulah hujan dari sebuah senja yang belum pernah diciptakan.

Kini kau bawa senja itu sebuah telinga dari keheningan paling bening. Telinga yang terbuat dari rumah yang telah dihancurkan dari tanah yang mengeras angin yang tidak bisa lagi berhembus. Daun-daun membuat pohon dari awan. Aku memasuki berita rahasia untuk melupakan diri sendiri. Dan besok–mari–aku telah menjadi dia yang melupakan bahasa.



Mantel Hujan Dua Kota

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan- bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta masih menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji- anji.

Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda jam 6 pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunungsebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini
Selengkapnya...