KEMBALI KE

23 Oktober 2011

Kebhinnekaan ala Televisi

Oleh: Louvikar Alfan Cahasta

“Nyebrangnye bae-bae, entar ketabrak. Lu kan gelap.”

LELUCON rasial itu, oleh seorang supir bajaj, ditujukan kepada Minus dalam Keluarga Minus (Trans TV). Minus Caroba orang Papua. Sebagai tokoh sentral dalam tayangan yang memakai namanya ini, Minus dikisahkan tinggal bersama pamannya di Jakarta. Sang paman, bekerja sebagai pegawai Dinas Pariwisata dan membuka usaha warung makan yang dikelola oleh istrinya yang berasal dari Minang. Di warung itu, istrinya dibantu seorang pegawai asal Jawa bernama Paijo.

Suatu ketika, tante Minus mendapat pesanan nasi bungkus dalam jumlah besar. Paman Minus sudah mengingatkan istrinya, jika tidak mampu memenuhi permintaan pelanggan, tidak perlu memaksakan diri. Tapi sang istri ngotot. Maka itu, ia butuh tenaga bantuan untuk belanja ke pasar. Paijo menawarkan diri, “Siap. Yang penting sediakan duit bajaj, duit konsumsi, dan duit jalan.” Tante Minus menolak tawaran Paijo, “Lebih baik sama Minus saja. Lebih hemat.” Namun nasib sial menimpa Minus: daging yang sudah dibeli terbawa oleh bajaj yang ditumpanginya.

Dari cungkilan di atas, tante Minus (Minang) digambarkan sebagai sosok yang pelit dan serakah. Paijo (Jawa), memainkan karakter yang materialis, orang yang mementingkan uang. Minus (Papua), diidentifikasikan sebagai orang yang lugu dan bodoh. Keluarga Minus telah mengembangkan “konstruksi stereotip”, narasi berdasarkan prasangka etnis. Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Menurut Burton (2007), komedi dalam televisi ingin mengeksploitasi stereotip untuk membuat lucu karakter. Jika pemirsa Keluarga Minus tertawa, itu tandanya Trans TV telah berhasil melakukan eksploitasi stereotip dengan baik.

Prasangka etnis tidak terlepas dari hubungan sosial-ekonomi yang timpang. Ada kelompok etnik yang dipersepsikan lebih dominan dari kelompok etnik yang lain. Kondisi sosial ekonomi seseorang atau beberapa orang, digeneralisir menjadi kondisi sosial ekonomi suatu etnis. Kelompok etnis (yang dianggap) berkuasa secara ekonomi, dihadapkan dengan kelompok etnis (yang dianggap) dikuasai. Salah dua serial FTV di SCTV, Gara-gara Gino (27 September 2011) dan Seandainya Aku Bukan Gue (4 Oktober 2011) merupakan contoh lain konstruksi narasi dengan prasangka etnis: ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang dilekatkan pada identitas etnis. Etnis A yang angkuh dan kaya dipertentangkan dengan etnis B yang lugu dan miskin.

Tak hanya pertentangan etnis, televisi juga mempertontonkan pertentangan budaya. Contohnya ada dalam Ethnic Runaway di Trans TV (baca Mereka Bukan Primitif, Surat Terbuka Remotivi kepada Trans TV Atas Tayangan “Primitive Runaway”, dan Trans TV Meminta Maaf Atas Tayangan “Primitive Runaway” untuk mengetahui riwayatnya). Konsep tayangannya adalah dua orang artis tinggal dan beraktivitas bersama komunitas masyarakat adat. Berikut adalah beberapa ungkapan yang muncul dari sang artis pada episode Suku Lom di Bangka (24 September 2011): “Wah Viki nyari sinyal, buang aja buang (ponselnya)”, “Kebayang ‘kan gelapnya di sini, enggak ada lampu”, “Sukurin lu tidur di tiker”, dan “Kenapa sih mau buang air aja harus ke hutan?”. Gambar-gambar yang ditampilkan tak kalah heboh. Ada adegan sang artis berteriak histeris dan lari ketakutan ketika malam hari ia diantar ke tempat yang gelap di luar rumah. Ada pula gambar seorang anggota Suku Lom yang begitu kegirangan ketika dipasangkan headphone milik sang artis.

Rangkaian dialog dan gambar yang ditampilkan, sesungguhnya menegaskan bahwa, “Saya dan Anda berbeda!” Sang artis begitu terbiasa berada di wilayah yang penuh oleh sinyal telekomunikasi, buang air di toilet yang bersih dan wangi, dan hidup dalam ingar-bingar cahaya lampu. Yang ditonjolkan Ethnic Runaway adalah perbedaan, bukan keberagaman. Mengkonstruksi narasi bahwa mereka hidup dalam ketertinggalan peradaban. Menganggap masayarakat adat sebagai liyan (the others). Seperti banyaknya tayangan lain yang menjual iba dan liyan, yang dilakukan bukan “mengabarkan”, tapi “mempertontonkan” (Sunardi dalam Totona, 2010).

Sulit memang menghindarkan televisi dari konsep representasi. Televisi berkehendak membangun sebuah konstruksi melalui representasi, membangun pemahaman tertentu atas sebuah realita. Neil Casey, et.al (2002), menjelaskan, “Representasi, tidak peduli seberapa ‘realistis’ tayangannya. Yang kita lihat di layar merupakan hasil konstruksi, terkait keputusan tentang apa yang harus direkam, di mana menempatkan kamera, bagaimana mengedit materi yang ada, dan sebagainya” (terjemahan bebas dari Television Studies The Key Concepts). Alih-alih merepresentasi keberagaman etnis dan budaya secara ‘nyata’, televisi justru telah keliru dalam menerjemahkannya.

Tidak hanya di Indonesia, serial TV BBC Knowledge yang ditayangkan di Afrika Selatan dan Amerika Serikat, Mark & Olly: Living with the Machingenga, pernah dituding telah melakukan kesalahan interpretasi mengenai kehidupan suku Matisgenka yang hidup di hutan Amazon. Suku itu dianggap buas dan kejam (periksa: vhrmedia.com).

Televisi, secara terselubung maupun terang-terangan, telah membangun narasi tentang ketidaksetaraan! Mengidentifikasikan suatu etnis dengan karakter atau sifat tertentu. Mendiskriminasikan suatu budaya ketika berhadapan dengan budaya lain. Ada etnis dan budaya yang diposisikan lebih tinggi dibanding etnis dan budaya lain. Dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat ditegaskan bahwa semua doktrin, kebijakan-kebijakan, dan tindakan yang berdasar pada pembelaan superioritas orang-orang atau individu-individu dalam basis perbedaan negara asal atau ras, agama, etnik atau budaya adalah rasis, salah secara ilmu, tidak valid menurut hukum, salah secara moral, dan tidak adil secara sosial.

Dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia, televisi dapat memperhatikan beberapa prinsip untuk dapat memperpendek jarak representasi dengan ‘kenyataan’, demi memanusiakan manusia yang terkena dampak langsung dari representasi.

Pertama, “Partisipasi”: sejauh mana keterlibatan entitas sebuah budaya dalam membangun narasi tentang kebudayaannya. Ketika tidak dilibatkan, besar kemungkinan narasi yang dibangun tidak bersinggungan dengan kepentingan masyarakatnya. Televisi harus memberikan ruang yang memadai bagi suara-suara yang merepresentasikan suatu entitas budaya.

Program dokumenter Bumi dan Manusia di TV ONE mengenai suku Orang Laut di Sulawesi Tenggara, misalnya, cukup baik dalam memberikan ruang bagi masyarakat Orang Laut untuk bercerita mengenai kebudayaannya: merepresentasi dan mengkonstruksi budayanya sendiri. Tanah Air di Kompas TV, sebagai contoh lain, juga memberi porsi partisipasi yang memadai bagi kelompok masyarakat yang diliput. Seperti tampak dalam episode Ritual Seren Taun Guru Bumi di Kampung Budaya Sindangbarang, Cianjur, Jawa Barat: masyarakat adat setempat menceritakan sendiri proses, konsep, dan nilai yang terkandung dalam ritual upacara adat Seren Taun.

Prinsip kedua adalah “Akuntabilitas”: sejauh mana upaya televisi dalam menggugat negara sebagai pemangku kewajiban dalam upaya penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Komentar Umum No. 21, sebagai penjabaran dari Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dapat juga menjadi acuan lain: televisi memiliki peran untuk mempertanyakan, apakah negara, misalnya, telah mempromosikan praktek-praktek hak berasosiasi bagi kelompok minoritas budaya dan linguistik untuk pengembangan hak-hak budaya dan linguistik. Untuk perlindungan, apakah negara telah melaksanakan kewajiban untuk melindungi produk kultural yang dihasilkan oleh masyarakat, termasuk pengetahuan tradisional, obat-obatan alam, cerita rakyat, ritual dan bentuk ekspresi lainnya. Terkait dengan media, apakah negara telah menjamin bahwa media telah mencerminkan keberagaman kebudayaan masyarakat secara memadai.

Prinsip selanjutnya adalah “Pemberdayaan”. Televisi seharusnya dapat memproduksi tayangan yang berorientasi pada pemberdayaan, bukan yang bersifat melecehkan atau merendahkankan derajat dan martabat manusia. Program dokumenter di stasiun televisi ABC di Australia, Message Stick, bisa dijadikan referensi..Salah satu episodenya mengangkat tema mengenai penggunaan beragam media sosial sebagai media komunikasi antar masyarakat. Televisi dan radio yang dikelola oleh sebuah komunitas, berhasil mengambil peran sebagai media informasi dan komunikasi yang bermanfaat dalam proses penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mereka. Media-media komunitas itu juga bermanfaat dalam preservasi bahasa dan budaya.

Maka, televisi sebagai ruang publik, berkewajiban untuk menerjemahkan realitas publik dan berkontribusi terhadap penyelesaian persoalan-persoalan publik. Menanggalkan konstruksi narasi dengan prasangka etnis, bukan mengukuhkan. Memberdayakan keberagaman etnis dan budaya, bukan mendiskreditkan. Merepresentasikan keberagaman etnis dan budaya dengan lebih manusiawi dan tidak diskriminatif.

Tidak ada komentar: