KEMBALI KE

18 Januari 2011

Percakapan antara Pasar Sub-Budaya ‘Underground’ dan Daya Tahan Gagasan

Oleh: Ugoran Prasad, peneliti dan penulis, tinggal di Jakarta)

Tulisan berikut berangkat dari fenomena sub-budaya “underground” sebagai budaya anak muda di Indonesia sepuluh tahun terakhir ini. Suatu sub-budaya yang mendasarkan diri pada kemandirian (dengan satu term populernya: DYI atau do it yourself) dalam pengertian yang mendasar, menyangkut posisi politik individu atau kelompok menghadapi gelombang ideologi politik dan pasar global. Harus dicatat, bahwa pengertian yang baru saja dipaparkan di sini adalah sebuah generalisasi yang perwujudannya bisa sangat beragam. Dalam praktik, definisi “undergorund”, karena keragaman para pemainnya, tidak pernah tunggal dan kerap menimbulkan pertentangan. Penyimpulan di atas saya lakukan lebih untuk menunjuk aras identitas yang dipantulkannya ke depan publik.

Sebagai sebuah gejala, underground telah melewati berbagai fase, dari mulai meniru, membuka diri pada ranah referensi, sampai menciptakan pasar. Dalam kurun yang singkat, kurang dari sepuluh tahun, dinamika yang terjadi begitu cepat menyesuaikan diri dan bercakap dengan lingkungannya. Menyibak bagaimana medan ini tercipta dan berkembang, menelisik bagaimana satu sistem di sebuah sub-kultur bisa terwujud, menjadi penting artinya mengingat—sebagaimana seni rupa, teater, atau film—budaya underground juga mendasarkan dirinya pada satu hal yang sama: ekspresi-estetik. Tulisan ini tidak bermaksud melupakan unsur-unsur pembeda antar berbagai jenis kesenian itu, melainkan mencoba menimbang ulang bagaimana unsur-unsur potensial dikembangkan dan problem-problem yang kemudian bermunculan dapat terdokumentasikan dan diperbandingkan di kemudian hari.

Menyusun Tata Identitas

Pada akhir tahun 1995, sekelompok anak muda berkumpul di pelataran Bandung Indah Plaza. Anak-anak muda ini, karena berbagai jenis dandanan mereka, menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang di trotoar dan yang keluar-masuk pusat pertokoan termegah di Bandung saat itu. Rambut mereka di mohawk seperti sterotype orang suku Indian di film koboi dan dicat berbagai warna. Mereka mengenakan celana jins hitam yang sangat ketat, sepatu boots yang mengelupas di sana-sini, tali sepatu yang berwarna menyolok diikat melingkar-lingkar di leher sepatu, jaket kulit dengan pin besi, spike di pergelangan tangan, dan atribut lain yang menyolok mata. Saya saat itu berumur belum genap tujuh belas tahun, duduk tak jauh dari mereka dan berharap suatu saat bisa duduk lebih dekat. Mereka adalah bagian paling terdepan dalam kultur anak muda, setidaknya menurut saya saat itu. Anak punk.

Kurang seratus meter dari tempat mereka duduk-duduk, berderet lapak pedagang kaki lima yang saat itu terasa sangat spesial: pedagang kaset bekas. Pusat penjualan kaset bekas saat itu ada di Jalan Cihapit, tapi sedikit penjual yang menyempal membuka lapaknya di dekat BIP. Ini bukan sembarang penjual kaset.

Bersama-sama dengan Generasi Muda Radio FM (biasa disingkat GMR) sebuah radio dengan menu musik cadas, melalui lapak-lapak kaset bekas inilah anak-anak muda seumuran saya belajar mengorientasikan selera, lengkap dengan sekumpulan kosa kata indeks pengetahuannya. Kaset bekas dan bajakan itu terdiri dari berbagai genre besar musik non-mainstream: black metal, death metal, grindcore, punk, hardcore, ska, elektronik, industrial, emo, gothic-metal, dan sebagainya. Masing-masing kelompok yang saya sebut di atas punya turunan kelompok lebih kecil, atau bahkan jenis-jenis yang berada di persilangan antar genre. Istilah semacam old-school dan new-school kerap terdengar, juga nama aliran spesifik yang bisa terdengar sebagai berikut: anarko-digital-old-school-emo-hardcore. Bagi mereka yang tidak mendengarkan musik-musik ini cuma ada satu kata untuk menjelaskan bagaimana musik-musik ini terdengar: bising.

Di sekitar anak-anak punk yang saya curi-curi lihat itu, ada kelompok yang lain. Kelompok ini tidak banyak menandakan dirinya dengan dandanan “aneh-aneh” sekalipun tampaknya keliru jika mengatakan bahwa tidak ada “seragam kelompok” mereka. Apa yang saya sebut seragam itu adalah celana lapangan, sepatu kets untuk skateboard, kaos oblong atau sweater. Kadang ada rantai yang bergelantungan dari bagian depan celana mereka ke saku bagian belakang. Di bagian tongkrongan ini, saya ingat, hanya dua di antara mereka yang wajahnya saya kenali, Arian Puppen, dan Trisno Pas. Nama belakang yang saya sebutkan adalah nama yang dikenakan pada mereka karena nama band mereka. Arian adalah vokalis Puppen, sebuah band beraliran hardcore, dan Trisno, adalah bassis kelompok Pas Band. Kelompok yang saya sebut terakhir, saat itu baru saja sedikit menggemparkan karena merupakan band pertama yang, setelah menempuh produksi independen label untuk single pertama mereka 4through the sap, direkrut oleh mayor label. Saya sebut sedikit menggemparkan karena musik populer di Indonesia sebenarnya saat itu masih merupakan wacana yang lebih umum. Berita konflik internal di Slank, kelompok band papan atas Indonesia saat itu (hingga sekarang) lebih terasa menggemparkan. Majalah Hai, satu-satunya majalah remaja pria saat itu, memberikan porsi halaman yang lebih banyak untuk kasus Slank ketimbang Pas Band.

Begitupun Pas Band saat itu berhasil mengumpulkan massa di tingkat lokal, dan yang lebih penting lagi, salah satu dari generasi pertama memberikan nama pada suatu gerakan yang sebenarnya sudah sering dilakukan di dunia musik Indonesia. Nama itu adalah gerakan indie-label dan underground.

Pas Band dan Puppen saat itu, seperti Slank dan gang Potlot-nya, dikenal biasa berkumpul di sebuah studio bernama Reverse Studio, di sekitar jalan Katamso, di daerah Sukasenang. Sebuah studio milik drummer Pas saat itu, Richard Mutter, yang terletak di ujung gang buntu (dan membuat kendaraan yang masuk harus mencari jalan berputar, reverse, untuk keluar: inilah mitos alasan yang beredar mengenai asal-usul nama studio tersebut) lengkap dengan sebuah etalase kecil yang menjual kaos merchandise band, pin, stiker, stick drum, senar gitar elektrik, cd, dan kaset. Reverse juga dikenal menyediakan koleksi poster grup-grup band “terkenal” mancanegara. Saya sebut dengan tanda kutip, karena nama-nama grup ini tidak mudah di akses bahkan setelah MTV—selain bisa di tangkap dengan parabola juga mengambil slot siaran ANTV—mulai memenuhi udara beberapa kota di Indonesia sejak 1994, tahun yang sama dengan berdirinya Reverse. Nama-nama itu, sebut saja: Sneaker Pimp, BioHazzard, Downset, Marylin Manson, Earth Crisis, Deicide, Korn, The Cure, Ramones, Faith No More, NOFX, Rage Against The Machine, dan lain-lain. Reverse Studio waktu itu adalah salah satu studio sewa untuk latihan band yang cukup laku. Saya mengalami sendiri betapa sulitnya sebuah band tak dikenal mendapatkan jam booking. Bukan karena studio latihan ini menerapakan seleksi, melainkan karena antrian band-band ini berlangsung dalam hitungan menit.

Saat itu bersama band seperti Puppen dan Pas band, nama-nama lain terus bermunculan. Di pertengahan 1996, sekurang-kurangnya Closeminded, Pure Saturday, Sendal Jepit, Balcony, Burger Kill, Cherry Bombshell, Jasad, adalah nama-nama yang kerap muncul di acara Bazaar SMA dan memiliki massa solidnya. Penting untuk dicatat, hampir seluruh SMA di Bandung dan sekitarnya, menggarisbawahi tradisi Bazaar ini, dan setiap sekolah berlomba-lomba untuk merepresentasikan produk kultur yang paling terdepan di budaya anak muda saat itu. Posisi strategis ini serupa, baik isi maupun posisi sosialnya, dengan Pensi (Pentas Seni) di Jakarta.

Di bazaar-bazaar inilah kerumunan massa (crowd) menguji band-band generasi selanjutnya, juga sebagai penanda pertumbuhan massa penggemar band-band besar Bandung. Selain beberapa Bazaar besar terpenting di beberapa SMA tertentu, pusat kerumunan paling berpengaruh adalah sebuah gedung olahraga di Jalan Ambon. Gedung Olahraga Saparua mulai disebut sebagai arah karier bagi band-band baru dan arah tontonan massa.

Di masa-masa puncaknya, di sepanjang paruh 1996-1997, hampir setiap minggu sebuah acara diadakan di gedung ini, mengumpulkan penonton aktif lebih dari 3.000 orang. Jadwal acara ini belum lagi akan membengkak di seputar bulan Agustus. Sekalipun tidak jelas benar hubungan budaya ini dengan perayaan hari kemerdekaan, banyak acara diadakan susul-menyusul di bulan ini. Jumlah band yang baru tumbuh ditambah dengan band-band underground papan atas, kadang berkumpul dalam sebuah pentas dalam jadual urutan penampilan yang tidak masuk akal. Dalam sebuah pentas yang di produseri Radio GMR di bulan Agustus 1996, sekurang-kurangnya 70 band berpentas dalam sehari, mulai dari jam 10 pagi, masing-masing berdurasi 20-40 menit. Band saya, sebuah band baru yang keburu bubar sebelum menyelesaikan album pertamanya (band semacam ini mungkin berjumlah ratusan sepanjang periode 1997-1999, agak sulit untuk mendatanya, juga karena tidak ada alat dokumentasinya selain kesaksian biografi), pentas jam dua pagi dan disaksikan, secara menakjubkan, oleh lebih dari seratus orang yang masih bertahan. Band terakhir yang main malam itu, kabarnya pentas jam empat pagi.

Tradisi lirik eksplisit band-band mancanegara yang menjadi rujukan band-band lokal ini, juga berfungsi sebagai jalan masuk menyingkap pengetahuan dan cara band-band manca ini menyatakan dirinya. Kecenderungan untuk bersinggungan dengan tema politik praktis dan isu sosial dari band-band luar ini, dalam waktu cepat juga menjadi inspirasi. Saat itu, Indonesia dipenuhi ketegangan. Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah nama ekstrim baru, PKI baru Indonesia yang mengguncang. Di panggung underground, sebagian anak-anak muda ini berteriak “revolusi”. Orde Baru, rezim yang dikenal pandai melakukan sensor ini, luput melihat potensi sleeve album kedua Rage Against The Machine, Evil Empire. Sederet buku “terlarang” dipajang di covernya dan sejajar dengan ini, sebagian anak muda ini untuk memunculkan pertanyaan dengan tanda seru atas sistem sosial dan politik.

Mungkin agak berlebihan bila dikatakan bahwa pada sub-kultur ini, suatu proses identitas secara perlahan mengeras. Mungkin lebih tepat, formulasi dari suatu identitas yang diangankan. Sekurang-kurangnya saya melihat dan merasakan hal ini. Batas antara diri saya dan teman-teman saya sebelum dan sesudah pertemuan kami dengan sub-budaya yang sedang berkembang ini amatlah jelas. Tanpa diperintah, saya membeli celana lapangan, memotong rambut saya cepak, sesekali mewarnainya, mencari kaos oblong yang slogannya “berteriak”, mengikatkan rantai dari dompet ke bagian depan celana saya, dan semacamnya. Peniruan fashion ini pada saat itu juga tidak cukup. Saat itu, saya merasa ada pengetahuan yang disebarkan, keberpihakan dan pembelaan-pembelaan sosial politik, yang sekilas bisa disebut heroik, namun sekaligus, sampai sekarang, wacana di dalamnya masih saya anggap penting.

Sebagaimana lazimnya cabang-cabang pengetahuan, berbagai arus besar ideologi dan paradigma hidup bersama-sama dalam “gerakan” ini. Awalnya agak samar. Saya sempat mengira hanya ada satu pengetahuan umum, suatu pemaknaan umum atas apa yang dibela oleh sub-budaya ini, bagaimana membelanya, dengan cara apa, dan seterusnya.

Perhatikan bahwa di paragraf sebelumnya saya terus menerus mengulang kata sebagian sebelum kata anak-muda. Kata ini saya pakai tidak sekedar untuk bersikap hati-hati dalam melakukan generalisasi, tapi lebih jauh, juga karena bagian-bagian dan pengelompokan kepercayaan sudah berlangsung: budaya underground ini sendiri, tidak homogen. Kenyataan adanya pasar wacana perihal underground di kalangan pelaku bahkan sudah berkembang menjadi friksi.

Peta friksi ini pertama kali saya dengar dari gitaris band saya, bernama panggilan Sensen, di akhir tahun 1996, saat komunitas-komunitas underground mulai menguat di basis lokalnya, dari berbagai tempat di pusat kota Bandung sampai ke daerah pinggir, Ujung Berung. Saat itu ia bermain sekurang-kurangnya untuk empat band dari berbagai aliran. Ia dikenal kerap berpindah-pindah band sehingga termasuk seorang yang punya kesempatan untuk berkenalan dengan banyak orang, dari berbagai komunitas. Aras friksi yang dikemukakannya berlandaskan kelas ekonomi pelaku underground. Ia menyebut bahwa ada “underground elit” dan ada “underground papa”. Kelompok-kelompok dari dua kelas ini berbeda, punya tongkrongan yang berbeda, karakter komunitas yang berbeda, dan pada gilirannya punya sikap-sikap yang juga berbeda.

Ilustrasi yang diberikan Sensen adalah perkara penyikapan pada alat-alat band yang mahal untuk kantong anak muda, dimana kelas pertama mampu memfasilitasi dirinya untuk bereksperimen dengan leluasa sementara kelas kedua harus mencari cara agar eksperimen ini berlangsung tanpa mengeluarkan biaya. Begitu pun, mengenai eksperimen ini, kedua kelas ini tetap menggunakan modus operasi yang sama, yaitu tukar-pakai dan jual-beli barang; suatu modus pertukaran yang berdasarkan kebutuhan.

Belakangan peta friksi ini meluas, sekalipun mungkin bersinggungan dengan persoalan kelas namun batasan ini tidak terlalu mengikat, yaitu mulai dari perbedaan kepercayaan-kepercayaan politis (termasuk adanya kelompok yang menegaskan sikap apolitis), sampai pada penolakan pada jenis dan ragam musik tertentu dan bahkan band tertentu. Pada saat yang sama, semakin banyak band memproduksi album musiknya. Komunitas tertentu juga mengeluarkan album kompilasi (album yang diisi banyak band), yang selain sebagai modus menghemat biaya juga kadang beroperasi sebagai cara untuk menunjukkan afiliasi komunitas. Penting untuk dicatat, bahwa sejak awal, ada dorongan untuk bertemu dan membangun jaringan antar kota. Malang dan Jakarta waktu itu, juga adalah kota yang tengah menggodok “underground”-nya masing-masing. Yogyakarta dan kota-kota lainnya di Jawa, segera menyusul kemudian. Jaringan antar kota ini berkembang lebih cepat daripada yang dibayangkan. Sejak 1997, saya sudah mendengar proyek split album (satu album yang menampilkan reportoar-reportoar dari dua band sekaligus, biasanya masing-masing menempati satu sisi kaset) yang mempertemukan band dari berbagai tempat, sebut saja band dari Bandung dengan Kuala Lumpur, atau bahkan dengan negara-negara Eropa dan Amerika.

Seiring perkembangan ini, kebanyakan studio latihan band yang digunakan oleh komunitas tertentu lazim membangun gerai kecil berisi kaset-kaset produksi DYI mereka. Produksi-produksi ini mulai berkembang. Beberapa band mulai merilis merchandise dan suatu pasar baru, tumbuh.

Identitas untuk Pasar

Band-band “underground” di Bandung sejak lama mengenal posisi manajer, yang mengatur dari mulai jadwal latihan sampai mengurus keperluan artistik personil band, dan kru artistik yang biasanya mengurus kebutuhan teknis pementasan. Dalam setiap konser band Koil, Trie Safiyanto, adalah anggota tim yang ditugaskan secara khusus untuk membawa barang-barang merchandise Koil berupa t-shirt dan menjajakannya di tempat pertunjukan. Kaos merchandise ini laku keras, seiring dengan semakin populernya band ini di kalangan anak muda, ditandai dengan penjualan album produksi mereka sendiri yang mencapai belasan ribu kopi. Awal tahun 2001, sebuah toko merchandise bernama Omuunium mereka dirikan. Beberapa desain kaos tertentu keluaran toko ini, laku sampai ribuan eksemplar.

Sebagaimana Koil di atas, hampir seluruh band yang cukup punya nama, biasanya secara khusus membina modus pengolahan modal ini. Sebelum Koil, Puppen adalah nama besar yang merchandise-nya selalu dicari. Nama seperti Burger Kill, Balcony, Jeruji, dan band papan atas lainnya, juga punya kekuatannya sendiri. Identitas sebuah band adalah ikon bisnis yang mulai bisa diperjuangkan. Beberapa alur produksi citra ini dimulai dari berbagai segi. Tipografi, logo, gambar tertentu dikembangkan untuk mengeraskan identitas ini. Rujukan dari citra band ini tentu adalah jenis ekspresi musik band-band tersebut. Produksi-produksi album mereka juga selalu diiringi oleh produksi merchandise. Kadang, sebuah band juga mengeluarkan desain yang berisi slogan.

Dalam mekanisme kerja mereka, ada yang mulai mendistribusikan pekerjaan ini kepada orang-orang di luar anggota inti band tersebut, tapi juga tidak sedikit anggota band yang mengerjakan pekerjaan rangkap. Hampir bisa dikatakan, apa yang dilakukan Koil adalah kelanjutan dan perbaikan dari modus yang dilakukan band-band sebelumnya. Suatu cara untuk bertahan dari margin penjualan album atau fee pementasan yang terbatas.

Sisi bisnis dari merchandise band ini, sebenarnya juga bukan kesadaran yang tiba-tiba, juga tidak melulu berangkat dari harapan yang besar atas kemandirian. Semuanya hampir dilakukan dengan deretan percobaan panjang dalam langkah-langkah pendek. Sebuah band, setelah cukup terkenal, biasanya memproduksi kaos mereka sendiri semula terbatas untuk konsumsi komunitasnya. Lalu perlahan melintas, meluas, dan menyebar.

Begitu pun di tahun 2001 itu, ketika sumber ekonomi alternatif untuk band-band yang berada di luar gerak modal mainstream menguat, saya agak tidak kurang mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebab pada saat itu, demam underground sebenarnya sudah bisa dikatakan surut, hampir berkebalikan 180 derajat dari apa yang terjadi 3-4 tahun sebelumnya. Saya sendiri menunjuk sebuah pertunjukan besar di tahun 1999 yang menandai proses pembalikan ini.

Pertunjukan besar dalam acara berjudul Ticket to Ride itu diadakan untuk mengumpulkan donasi yang akan digunakan untuk membangun arena skate, tapi bukan itu yang membuat acara ini melegenda. Ticket to Ride dimanfaatkan oleh Puppen sebagai pentas terakhir mereka. Setelah itu, dengan alasan kesibukan masing-masing personilnya, mereka membubarkan diri. Saya harus meletakkan Puppen dalam proporsinya, yang lebih dari sekedar pionir. Arian juga adalah seorang pelaku yang rajin mendokumentasikan perkembangan scene-musik ini, mereview band-band baru yang potensial, menyuarakan kampanye-kampanye sosial yang memperluas spektrum wacana dan mempublikasikan semua ini dalam tulisan-tulisannya yang tersebar di dunia maya internet, dan melalui sebuah zine (newsletter) bernama 13. Zine ini juga termasuk pionir dari menjamurnya berbagai zine komunitas dengan berbagai perspektif lainnya. Saat Puppen membubarkan diri, pentas-pentas underground sudah mulai susut secara drastis, GOR Saparaua semakin mahal untuk dijadikan tempat pertunjukan, sementara bazaar sekolah, seiring masuknya referensi baru, perlahan mulai merubah orientasi musiknya. Banyak band besar mulai tidak terdengar aktif, beberapa masih merilis album mereka namun hampir bisa dikatakan tidak pernah muncul ke depan publik. Pembubaran diri Puppen, seperti hampir menandai akhir dari suatu era gerakan musik dalam pengertian keterlibatan jumlah massa pendukungnya. Angka penonton di puncak gerakan ini pada 1996-1999, sampai tulisan ini diturunkan, belum dicapai kembali. Pada taraf tertentu, keadaan ini bukan tanpa sisi positif, mengingat jumlah pendukung yang tersisa adalah suatu tanda dari potensi gerakan ini melepaskan diri dari bayang-bayang hipotesa bahwa gerakan underground sebenarnya tak lebih dari sekedar trend.

Pasar dan Barang Jualannya

Jalan Dago sejak dulu menjadi ikon kota Bandung. Satu ikon baru lahir di jalan ini pertengahan 1997. Di paviliun rumah bernomor 347, sebuah toko kecil akan mengawali suatu trend baru bernama distribution outlet, kemudian biasa disingkat distro. Nomor rumah inilah yang kemudian diangkat sebagai nama merek produk mereka yang sekarang telah berkembang dengan berbagai alternatifnya. Saat itu sebenarnya sudah ada Riotic, Ouval, Reverse, dan beberapa merek lokal dan distribution outlet lain. Tidak seperti 347, hampir semua distro ini adalah gerai kecil di depan suatu studio musik. Gerai-gerai ini menjual merchandise band, kaos oblong, album band lokal, video-video mengenai olahraga atraksi sepeda bmx, skateboard, dan surfing, seluruh yang disarankan berkenaan dengan bagaimana menjadi anak muda di gerakan itu. Perbedaan mendasar yang diletakkan oleh 347 adalah aksesibilitas, netralitas, dengan citra eksklusif namun membuka diri untuk publik umum, di luar anak band. Sekurangnya, hanya di 347 saya bisa melihat pengunjung toko yang terdiri dari siswi perempuan sekolah menengah yang datang berombongan, sesuatu yang sangat jarang terjadi di gerai kecil di depan suatu studio musik. Selain 347, merek Ouval sudah mulai dikenal menerima pekerjaan pemesanan jaket. Saat ini, Ouval adalah salah satu merek terdepan yang gencar melakukan promosi di televisi. Begitupun, apa yang sekarang berkembang sebagai sebuah dinamika industri, sebelumnya adalah sebuah eksperimen kecil, bersamaan dengan eksperimen lainnya.

Kurang dari dua tahun kemudian distro adalah bom pasar baru dan etos penting dari kerja anak-anak band adalah pemasaran. Pada awal tahun 1999, ketika seorang teman saya membuka distro bernama PopEye di Jalan Buah Batu, ia menyebut sudah ada 35 distro di seluruh kota Bandung. Kurang dari tiga bulan, teman saya menyebut jumlah ini sudah mencapai hampir 50. Toko teman saya itu tidak bertahan lama (persis sebagaimana gejala menjamurnya band-band underground di fase 1996-1998), namun toko dan merek-merek baru terus bermunculan dan membuktikan dirinya.

Sebagai suatu bentuk pengetahuan yang diimpor dari asal sub-budaya ini, Amerika Serikat dan beberapa negara industri lainnya, modus membangun toko-toko distribusi adalah untuk menjadi mekanisme pasar alternatif yang lebih bebas dan terbuka. Dari pernyataan berbagai situs tentang sub-kultur yang saya kumpulkan, pasar mainstream dianggap berbahaya oleh banyak pelaku sub-budaya ini, sekurang-kurangnya karena beberapa pandangan, pertama, karena orientasi pasarnya merupakan modus sensor yang halus namun lebih mengikat daripada regulasi politik. Kedua, karena alasan yang ideologis, bahwa pasar telah dipenuhi oleh manipulasi industri, dan ketidaksetaraan yang disistematisasi. Dalam perkembangannya, juga ada alasan ketiga yang sesungguhnya bersifat lebih akomodatif dengan pasar mainstream. Yaitu, pasar alternatif perlu diciptakan untuk memperluas dan menciptakan komunitas konsumen baru. Ada alasan keempat, yang bersifat lebih praktis, yaitu adanya kebutuhan akan pasokan barang yang tidak bisa ditemui di pasar mainstream.

Perlu diingat Bandung sejak lama dikenal sebagai kota yang banyak menghasilkan nama-nama besar dalam industri pakaian siap-pakai dan pasar yang mengonsumsinya. Gustaff H. Iskandar, seorang seniman multimedia dan pengamat, terlibat sub-budaya ini, dalam Fuck You! We’re from Bandung-MK II (Urban Cartography V.01, www.commonroom.info), menelusuri tradisi berkembangnya sub-budaya anak muda pada sejarah kota Bandung, juga mengingatkan tentang hal ini. Ada C-59, Alpina, Jayagiri, dan semacamnya, merajai pasar sampai awal 90-an.

Mungkin karena situasi ini, juga untuk menerangkan identitas desain yang ditawarkannya, kebanyakan anak muda di bisnis pakaian yang lekat dengan gerakan underground ini, lebih sering menyebut pekerjaan mereka sebagai “bisnis clothing”.

Sebagai industri, jika sebelumnya kaos oblong yang mereka produksi menampilkan identitas satu band tertentu, perlahan-lahan mulai memperluas jelajah inspirasi desainnya. Seluruh elemen dalam subkultur ini dirambah. Desain dengan inspirasi olahraga skateboard, sepeda bmx, sampai slogan dan penyataan sikap, mulai bermunculan. Desain-desain ini berkembang dan direspon positif oleh pasar. Begitu positifnya sehingga merek-merek tertentu sudah mulai berani menjadikan nama mereknya sebagai ikon desain. Merek-merek ini, sebutlah 347, Ouval, dan lain sebagainya, jika diletakkan di halaman depan kaos oblong, seperti berfungsi sebagai antitesa dari Nike, Adidas, DKNY, Levi’s, dan perusahaan global lainnya. Merek-merek lokal ini adalah ikon yang merepresentasi sub-budaya ini, sejajar dengan nama-nama band-band underground-nya.

Irisan ini juga berlangsung dari berbagai segi, sehingga merek lokal dan band lokal adalah dua unsur yang saling mendukung. Sebagaimana yang dilakukan band Koil, banyak produsen dari merek lokal ini juga adalah pelaku, personil band, manajer, atau bahkan fans setia dari sub-budaya ini. Ouval dimiliki oleh skateboarder, 347 dimiliki oleh surfer, dan beragam kedekatan biografi serupa. 347 sejak awal menggabungkan diri dalam gerakan musik, menerbitkan majalah Ripple dengan konsentrasi liputan musik lokal yang besar, juga sebuah label rekaman indie bernama Spills. Fast Forward Record, salah satu indie label terdepan, juga beririsan dengan merek Monik Clothing.

M. Primadiantho, orang di belakang Firebolt, kelompok clothing yang sampai sekarang mengadakan sebuah acara musik per semester bernama OneBlood, memulai kegiatan bisnis dengan alasan yang sederhana, dan bukan alasan ideologis. Sebutlah alasan untuk berdikari dengan mencari uang sendiri. Lingkungan adalah tempat alasan ini dilahirkan. Primadiantho adalah anggota komunitas pergaulan para pemusik dan pencita musik underground yang sebagian besar putus sekolah atau mahasiswa universitas tanpa orientasi profesional yang jelas. Sempat bekerja di sebuah perusahaan, tahun 1999, Prima, begitu ia biasa dipanggil, memutuskan untuk menekuni bisnis pakaian yang sebelumnya sudah dimulai teman-temannya.

Awalnya, ia hanya menerima pesanan cetak sablon manual untuk kaos oblong yang dibawa teman-temannya, Rp. 5.000,- per potongnya. Lalu ia mulai memproduksi kaos oblong tanpa merek dengan tema-tema sub-kultur ini. Ia sempat beberapa kali mencoba menggunakan beberapa nama merk rekaannya, sampai terakhir menemukan Firebolt.

Prinsip manajemen yang dilakukannya, adalah manajemen “cara gue” yang berangkat dari menemukan pola yang tepat untuk mengatur komunitas sendiri. Manajemen ke dalam ini digunakannya untuk mengatur arus pendapatan dan pengeluaran di dalam, agar niatan kehidupan yang lebih baik pada anggota komunitasnya bisa terwujud. Ketika manajemennya juga harus berhadapan dengan dunia luar, apa yang ia kira semula mengenai bekerja menyokong sebuah gerakan bersama telah berubah menjadi industri dengan persaingan yang ketat. Sebagai bisnis, ia mulai menghitung digunakannya logika persaingan yang semakin lama semakin keras.

Persaingan keras ini, dalam penuturannya, telah bermain di wilayah yang tidak ia pernah kira. Pemalsuan, misalnya, sempat menjadi persoalan. Pihak ketiga, pelaku yang murni berasal dari kalangan pedagang dan pengusaha, datang dengan jumlah modal yang sangat besar, “menembak” (membajak, memalsukan) merek lokal dan desainnya. “Produknya belum keluar, desain gue udah bocor di Melawai, Blok M, dan lain-lain,” katanya mengenang. Untungnya, para pemalsu ini adalah pemain lama yang keberadaannya mudah diketahui, sehingga juga mudah didekati. Dua tahun terakhir ini pemalsuan ini berkurang tapi modusnya berubah. Mereka membuat merek mereka sendiri, mengambil struktur gagasan desainnya sehingga menjadi setipe dengan produk distro, lalu memproduksinya dengan massal sehingga harga jualnya sangat rendah. Bisa seperti dari harga produk distro. “Dalam pasar, persaingan macam ini nggak salah,” katanya lagi, “Tapi, ya, bikin ketar-ketir”. Sifat ikatan komunitas dan jaringan antar komunitas juga perlahan melemah seiring dengan semakin terbukanya pasar ini. Masalah bagi gerakan sub-budaya ini secara umum adalah semakin kecilnya kontribusi dari pasar ini pada pengembangan gerakan. Beberapa acara masih bisa disponsori oleh beberapa merek/label clothing tertentu, tapi itupun dengan perhitungan yang rumit. “Ada mereka yang aslinya bagian dari komunitas tapi kontribusi ke komunitasnya tidak signifikan.”

Prima mencatat bahwa industri dan bisnis pelan-pelan telah lama merubah orientasi. “Dari yang tadinya ada untuk men-support gerakan, berubah jadi memanfaatkan gerakan.” Apa yang disebut memanfaatkan gerakan, paparnya, ditandai dengan karakter produk perusahaan clothing yang memang sekedar menjual “coolness” (sifat keren) dari pergerakan indie. Suatu coolness yang belakangan ini menurutnya, karena begitu massif, sudah terasa stereotype. Sementara ironinya bukan tidak terus berlangsung. Ada banyak band yang lebih memilih jual merchandise kaos daripada memproduksi album baru mereka. “Dua juta (rupiah) dibikin kaos pasti balik modal. Dibikin album belum tentu.”

Resiko, menurut Prima, juga adalah unsur yang dirasa semakin sulit disikapi. Prima menyebut perbaikan ekonomi pelaku pasar ini juga setimbang dengan peningkatan kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi. Semakin lama, para pemain yang sebelumnya berani mempertaruhkan segalanya untuk aktivitas “jalanan” dan “identitas” mereka jadi harus berpikir dua kali. “Mobil kan harus ganti oli.”

Pada saat yang sama Prima sendiri mencatat bahwa keadaan massa juga sudah banyak berubah dan aktivitas gerakan sub-budaya juga mungkin berubah. “Di tahun 2005 banyak distro dan label gulung tikar. Beberapa tahu yang lalu, asal barang distro pasti laku. Sekarang beda.”

Firebolt, belakangan ini, dirancangnya untuk melakukan aktivitas langsung yang berkaitan dengan persoalan sosial dan lingkungan. Bersama dengan sebuah newsletter yang diterbitkan komunitasnya, ia masih merasa ada celah positif dari aktivitas kampanye yang dilakukannya. Ia berharap dapat suatu orientasi baru, “Ini supaya nggak jadi jualan doang.”

Begitupun, mengenai dorongan mekanisme pasar untuk terus meningkatkan diri, ekspansi dan investasi, Prima menganggap satu-satunya kemungkinan (jalan keluar) yang tersisa adalah menciptakan kemungkinan (pasar). Ia bilang “It’s too wild,” ketika saya bertanya ada tidaknya kemungkinan pelaku sendiri, dengan sadar, membatasi pasar yang diorientasi oleh produknya. “Mungkin bukannya gak mungkin. Kayaknya berat banget”.

Penutup

Saya menuliskan catatan terakhir ini sembari melihat ulang perjalanan dua belas tahun sebuah alur pengetahuan informal berlangsung, menciptakan jejak kebudayaannya, dan, yang tersulit, proses penciptaan pasar. Suatu arus pengetahuan yang massif, jejak yang massif, dan pasar yang massif. Bagaimanapun ini adalah sebuah percobaan yang sangat serius dan sungguh-sungguh.

Saya teringat pernyataan Prima yang terakhir, “Pasar ini gampang banget dipengaruhi. Kita bisa kok menyetir pasar. Intinya cuman di informasi dan proganda. Tiap hari elu dengar Peterpan, lama-lama elu suka juga kan?”

Ya, kita semua suka Peterpan.

(Ugoran Prasad, peneliti dan penulis, tinggal di Jakarta)

* artikel ini diterbitkan pertama kali di Lèbur No.04/Januari 2006

1 komentar:

indriankoto.blogspot.com mengatakan...

main juga ke tempat kuli yang lain ya

http://gumampelabuhan.blogspot.com/