KEMBALI KE

11 September 2010

Memaknai Mudik, “kembali ke asal”, Melawan Bencana Kelupaan akan Masa Lalu

Oleh Yoga ZaraAndritra

Menjelang lebaran, suasana tempat saya menginjakan kaki dan menjunjung langit menjadi lebih bising dari biasanya. Lalu lalang orang di sekitar saya menjadi lebih rumit dari biasanya. Orang-orang berjejal berdesak-desakan menghampiri tempat-tempat dimana barang dagangan dijajakan. Volume kendaraan menjadi makin padat mengisi celah-celah jalan raya yang masih kosong. Memang tidak di semua tempat seperti itu. Tapi itulah kondisi menjelang lebaran yang saya rasakan.

Suasana menjelang lebaran yang bising, terus terulang tiap tahun. Menjadi rutinitas yang justru malah dinanti bagi setiap orang yang berada di dalamnya yang ikut membising dan berjejal-jejalan. Banyak orang rela berdesak-desakan naik kereta api, setelah sebelumnya menunggu berjam-jam. Lalu ada juga yang mengendarai motor rela berpayah-payahan. Di bagian depan motornya ada dua kardus yang dihimpit kaki berisi perbekalan (dan oleh-oleh) serta di bagian belakang motor diisi oleh penumpang yang tiada lain adalah istrinya. Tak terkecuali dengan bus, meski ongkos bus naik 10% tapi tetap bus jurusan tasik-bogor misalnya, tak bersisa ada kursi yang kosong. Orang-orang rela berdesak-desakan, berpayah-payahan demi “kembali ke asal”, “kembali ke kesucian”. Itulah kiranya makna yang bisa ditangkap dari kata iedul fitri. Dan mudik adalah salah satu penjelmaan dari kata “kembali ke asal”.

Mudik adalah kristalisasi pemaknaan “kembali ke asal” menjadi sebentuk akhlak (tradisi). Menjadi akhlak buat mereka yang merasa jauh dari tempat asalnya. Baik itu asal budaya maupun asal dilahirkannya. Ya menjadi akhlak, yaitu suatu kebiasaan yang dengan rela hati kebanyakan orang lakukan tanpa harus mempertanyakan lagi legal tidaknya pemahaman di balik rutinitas bernama mudik.

Jika ada orang desa yang kemudian menetap di kota, maka mudik adalah satu moment yang dinanti dan di rindu. Karena desa tempat asal, awal mula ia ada, baginya adalah memori besar dimana rekaman masa lalu disimpan. Namun lebih dari itu, mudik melampaui batas-batas desa-kota. Menjadi semacam jembatan antara masa lalu dengan masa kini. Saat orang harus sejenak menunda masa lalunya di labirin kosong memori dalam benaknya, karena harus mengisi waktunya yang saat ini. Saat itulah sesungguhnya seseorang tengah kehilangan masa lalunya digantikan oleh masa kininya. Namun ternyata, manusia tak pernah benar-benar kehilangan masa lalunya. Meminjam bahasa Freud, masa lalu disimpan di alam bawah sadar manusia. Oleh karenanya, manusia merindu masa lalu. Tuhan sebagai pencipta tau itu, karena memang ia mahatahu. Melalui al-Quran yang disampaikannya lewat muhammad saw lantas tuhan membikin syariat. Yang dimana hasrat kerinduan manusia pada masa lalunya dan semangat menghadirkan masa lalu dalam dirinya tersalurkan lewat iedul fitri (serta pemaknaannya sebagai kembali ke kesucian(asal)).

Dengan kata lain, mudik adalah upaya menghadirkan masa lalu. Saat masa kini mendominasi setiap segi kehidupan manusia. Misalnya, saat ini saya adalah seorang pejabat pemerintahan yang terkesan jauh dari rakyat kebanyakan (dan melupakannya), karena ada kendala-kendala birokrasi yang memenjara. Maka saat menjadi pejabat, sesungguhnya saya tengah lupa bahwa saya pernah menjadi bukan apa-apa/rakyat kebanyakan. Ada sisi yang telah saya negasi, yaitu masa lalu saya sebagai rakyat kebanyakan. Sesuatu yang telah saya lupakan dan negasikan ini telah membuat diri saya yang kini pejabat tidak peka pada realitas rakyat kebanyakan. Ketidakpekaan ini karena saya telah melupakan masa lalu. Sehingga saya tercerabut dari akar-akar eksistensial diri saya. Pada kasus ini, pemaknaan mudik menjadi sangat berguna. Karena mudik menjadi momentum mengingatkan bencana kelupaan akan masa lalu yang membuat sebagian orang tidak peka.

Jika nietzsche berkata, “barangsiapa kehilangan tujuan maka ia kehilangan jalan”. Dalam hal ini, puasa adalah jalan menuju “kembali ke asal”. Jalan dimana kita diwajibkan untuk terlebih dahulu melapar-lapar sebelum akhirnya makan dan minum. Dari situ, saya kira, tuhan menghendaki kita merenungkan asalnya mengapa lantas kita makan. Tema besar di bulan ramadhan adalah asal mula. Asal mula sering juga diartikan suci. Namun, pemaknaan suci sering dipelesetkan menjadi kegiatan melupakan masa lalu, melupakan dosa-dosa masa lalu yang sudah kita perbuat. Melupakan seringkali adalah kebiasaan orang yang mau gampang saja lari dari tanggung jawab. Bukannya memperbaiki kesalahan dan dosa-dosa di masa lalu.

Tapi kembali ke asal, saya kira bukan kembali suci yang pemaknaannya dipelesetkan menjadi melupakan masa lalu. Yang di dalamnya ada banyak dosa-dosa/kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat yang menuntut untuk diperbaiki jika ingin dikatakan telah kembali suci. Kembali ke asal justru adalah moment merenungi masa lalu, menghadirkannya di masa kini. Lalu memperbaikinya dengan perasaan bahagia, perasaan menang karena telah berhasil melawan lupa; lupa akan asal, lupa tempat tinggal, lupa saudara, lupa keluarga dan lupa budaya. bencana lupa akan asal adalah bencana jati diri yang membuat kita sebagai pribadi akan mudah roboh.

Namun adakah manusia yang bisa kembali suci? Bisa kembali ke kondisi dimana ia masih bersih belum berbuat dosa? Saya kira tugas manusia bukanlah untuk memastikan suci tidaknya manusia yang lain (atau pun dirinya). Tugas manusia hanyalah mengupayakan kesuciannya. Dengan misalnya, memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Biarkan keputusan telah kembali sucinya seseorang atau tidak, kita serahkan pada yang memiliki otoritas, dalam hal ini adalah tuhan. Bukankah dalam salah satu keterangan, konon katanya nabi pernah berkata, “sesempurna-sempurnanya manusia, ialah mereka yang bertaubat dengan sungguh-sungguh dan memohon ampun terus-menerus”? Dari keterangan nabi saw di atas, bolehlah saya membikin pernyataan, “sesuci-sucinya manusia ialah mereka yang berusaha mensucikan dirinya”.

Tidak ada komentar: