KEMBALI KE

04 September 2010

Masjid Pertama di Permukiman Belanda



Oleh Dwi Erianto

Hampir delapan dekade silam sebuah masjid dibangun di kawasan permukiman orang-orang Eropa di kawasan Bandung utara. Kini, masjid itu tetap kokoh berdiri di sisi kiri Jalan Cipaganti, Kota Bandung. Meski ada penambahan luas bangunan, keaslian bangunan awal masjid tetap terjaga.

Masjid yang disebut Masjid Agung Cipaganti itu merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Raya Bandung. Masjid itu merupakan karya arsitek Belanda CP Wolff Schoemaker. Peletakan batu pertama pembangunan masjid dilakukan Bupati Bandung Raden Tumenggung Hasan Soemadipradja pada 7 Februari 1933. Setahun kemudian, masjid selesai dibangun dan diresmikan oleh Bupati tersebut.

Gaya seni arsitektur masjid tersebut cukup unik dan mampu memberikan keragaman arsitektur masjid di Indonesia. Bangunan masjid merupakan perpaduan seni bangunan dari unsur tradisional Jawa dan Eropa. Unsur bangunan tradisional Jawa terlihat dari bentuk atap tajuk tumpang dua limasan dengan atap-atap tambahan pada sayap kiri dan kanan. Bentuk tradisional juga tampak dari pilar konstruksi empat kolom saka guru di tengah-tengah ruang shalat.

Detail-detail arsitektur dan ornamen-ornamen floral seperti bunga atau "sulur-suluran" pada masjid itu juga mengambil unsur-unsur dekoratif tradisional Jawa. Desain ini menunjukkan upaya Schoemaker menghadirkan unsur-unsur lokal dalam masjid rancangannya.

Langgam arstitektur Eropa terlihat dari konstruksi atap bangunan yang memakai teknik bangunan kolonial. Itu terlihat dari penggunaan kuda-kuda segitiga pada interior atap tajuk.

Penataan bangunan masjid dalam posisi "tusuk sate" antara Jalan Cipaganti dan Jalan Sastra kian mempertegas pendekatan Eropa dalam penataan tapak bangunan. Posisi "tusuk sate" itu jarang dijumpai pada masjid-masjid lokal/tradisional.

Pengaruh Eropa juga terlihat dari gapura kokoh dan tinggi yang menjadi ciri khas bangunan "art deco" Belanda. Begitu pula dengan tembok bagian kiri dan kanan gapura, dengan ornamen khas Belanda. Selain itu, lampu gantung berbahan perak bergaya Eropa klasik di tengah langit-langit ruang utama tempat shalat juga semakin menguatkan ciri khas bangunan Eropa. Pada masa itu, lampu itu terlihat mewah dan sangat mahal.

Keunikan Masjid Agung Cipaganti terletak di daerah yang dulunya merupakan kompleks permukiman orang Eropa. Bangunan ini merupakan masjid pertama yang dibangun di lingkungan masyarakat Belanda yang mayoritas beragama Kristen. Pemerintah kolonial Belanda membangun masjid itu untuk tempat ibadah warga Muslim yang tinggal di wilayah Bandung utara.

Selain unsur Jawa dan Eropa, terlihat pula pengaruh Timur Tengah. Pengaruh itu tampak dari elemen relung atau busur dan dekorasi kaligrafi. Elemen dekorasi kaligrafi terlihat di beberapa tempat seperti pada keempat kolom saka guru, relung tapal kuda, mihrab, dan dinding penghalang yang berada tepat setelah pintu masuk utama.

Meski bentuk asli masih terjaga, masjid itu mengalami dua kali renovasi. Perombakan pertama tahun 1954. Bangunan masjid diperluas ke sebelah kanan dan kiri untuk menampung jemaah lebih banyak. Namun, bangunan asli berukuran 9 meter x 15 meter tetap tidak berubah. Selanjutnya masjid diperluas pada sisi kiri dan kanan, masing-masing 17 meter pada tahun 1979. Namun, arsitektur masjid tetap mengikuti bangunan lama. Luas bangunan masjid bertambah menjadi CP Wolff Schoemaker

Selain merancang Masjid Agung Cipaganti, Schoemaker juga merancang tempat ibadah lainnya yakni Gereja Katedral St Petrus di Jalan Merdeka dan Gereja Bethel di Jalan Wastukancana, Bandung. Karya Schoemaker yang fenomenal adalah Villa Isola di Jalan Setiabudi (kini menjadi Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia) dan Sociteit Concordia (Gedung Asia Afrika).

Selain menjadi arsitek, ia juga mengajar di Technische Hogeschool Bandoeng (sekarang ITB). Presiden pertama RI Soekarno merupakan salah satu anak didiknya. Dalam rancangannya, Schoemaker kerap memasukkan unsur-unsur tradisional dalam elemen-elemen bangunan, dekorasi, ataupun bentuk bangunan secara keseluruhan.

Pria yang lahir di Banyubiru, Semarang, tahun 1882 ini melewatkan masa kecilnya di kota kelahirannya. Schoemaker dewasa memulai kariernya di militer sebagai insinyur. Ia kemudian bergabung dengan Algemeen Ingenieur Architectenbureau, dan bekerja di Bandung. Selanjutnya dia mengajar di TH Bandung dan mendapat gelar profesor tahun 1922. Ia meninggal tahun 1949 dan dimakamkan di Pemakaman Pandu, Bandung. 720 meter persegi.

http://cetak.kompas.com

Tidak ada komentar: