KEMBALI KE

05 September 2010

Fenomena Ganjil Kota

Oleh Husein Ja'far Al Hadar, peminat studi agama dan filsafat

Ada fenomena ganjil yang kian marak di perkotaan. Modernitas perkotaan dengan beragam hiruk-pikuk gemerlapnya yang sejatinya merupakan ciri sekaligus cita-cita paling dasar dan primordial dari modernisme perkotaan, sejak diktum modernitas dicetuskan oleh Rene Descartes pada masa Renaisans, kini justru terasa sebagai "monster" bagi manusia modern perkotaan itu sendiri. Para manusia modern perkotaan itu kini seolah memiliki minat yang paradoks dengan ciri sekaligus cita-cita paling dasar dan primordial mereka. Yang paling sederhana, lihatlah gaya perumahan manusia modern perkotaan saat ini. Mereka justru menghindari hiruk-pikuk gemerlap modernisme perkotaan. Mereka memilih untuk membangun atau membeli serta tinggal di rumah town house yang justru (sengaja) di-setting ala pedesaan, jauh dari ciri maupun corak kemodernan. Dan, minat atas rumah-rumah dalam town house justru kian menggelembung di masyarakat modern perkotaan. Bahkan, tak sampai di sana, mereka yang mampu secara ekonomi kerap masih menambahnya dengan membeli vila di kawasan Puncak, Bogor, yang kental akan suasana pedesaan dan nihil kemodernan. Atau, lihat saja fenomena mudik Lebaran tiap tahun, begitu berbondong-bondong masyarakat perkotaan pulang kampung untuk keluar dari monster modernisme perkotaan dan sejenak merasakan suasana pedesaan. Itulah fenomena ganjil di perkotaan saat ini.

Menurut penulis, fenomena itu bisa disebut sebagai kemunafikan. Sebab, para manusia modern perkotaan itu justru mengkhianati ciri sekaligus cita-cita paling dasar dan primordial modernisme perkotaan. Namun bisa saja fenomena itu juga dipahami sebagai sebuah kesadaran kembali. Dalam artian, para manusia modern perkotaan itu mulai sadar akan sederet dampak negatif yang dihadirkan oleh modernisme sebagaimana telah dikritik oleh berbagai filsuf, seperti Martin Heidegger, Herbert Marcuse, dan para filosof yang hidup di pasca-modernisme lainnya. Yang jelas, apa pun tendensi atas fenomena itu, setidaknya terdapat dua pesan yang tersirat. Pertama, fenomena itu menyiratkan satu titik "kebenaran" kalangan filosof--khususnya dari lingkungan Mazhab Frankfurt--yang mengkritik modernisme dan membeberkan berbagai dampak negatifnya bagi peradaban manusia. Kedua, fenomena itu seolah membenarkan diktum yang menyebutkan bahwa manusia modern pada ujungnya akan terjebak pada kebosanan dan kembali melakukan pengulangan-pengulangan.

Hipotesis Charles Jencks menyimpulkan bahwa dalam perspektif modernisme, nilai dan dimensi arsitektur telah direduksi menjadi komoditas ekonomi semata. Sehingga nilai-nilai dan dimensi-dimensi arsitektural--seperti estetika, ornamen-ornamen, nilai historis, metafor, dan lain-lain--dinafikan. Bahkan masyarakat modern telah melupakan misi reformasi sosial dari arsitektur modern untuk membangun permukiman berbasis massa.

Terdapat beberapa catatan kritis tentang corak arsitektur modernisme, misalnya, pembangunan jalan yang tak manusiawi alias anti-pejalan kaki, tata letak dan gaya bangunan dan lanskap yang semrawut, ruang terbuka yang semakin tak berkualitas, maraknya ruang yang hilang alias ruang rongsokan (kumuh), sistem kaveling dengan pemagaran yang cenderung bersifat individualistik, serta memudarnya konsep halaman hingga penghancuran bangunan kuno yang bernilai sejarah. Dampak negatifnya, banjir menjadi musuh masyarakat perkotaan, keamanan menjadi sesuatu yang mahal, suasana kebersamaan menjadi sesuatu yang langka, serta tata ruang yang membosankan (nihil nilai maupun estetika). Itulah sederetan variabel konkret yang kemudian menjadikan kehidupan modern perkotaan terasa membosankan dan menyiksa bagi para penghuninya. Sehingga muncullah fenomena ganjil perkotaan itu.

Ironisnya, mayoritas ibu kota maupun kota-kota besar di dunia masih sarat akan catatan kritis itu, termasuk Jakarta. Sehingga tak aneh jika kota-kota itu kemudian hanya menjadi ruang mengadu nasib yang segera akan ditinggalkan ketika ada kesempatan.

Bertolak dari situ, maka di pertengahan 1970-an muncul dua gerakan budaya berbasis filsafat arsitektur, yaitu post-modernism dan neo-modernism. Walaupun keduanya memiliki corak arsitektur yang berbeda, bahkan bertentangan pada beberapa titik, setidaknya memiliki kesamaan pilihan sikap untuk beroposisi terhadap otoritas gerakan arsitektur modern serta berpandangan selaras bahwa arsitektur modern telah berakhir. Minimal keduanya sepakat bahwa arsitektur modern yang tampaknya sebagai sebuah proses kreatif sejatinya tak lebih dari sebuah proses destruktif semata.

Dalam konteks Jakarta saat ini, sejauh pengamatan penulis, busway merupakan salah satu tipologi arsitektur bercorak modernisme itu. Sekilas ia tampak sebagai sebuah solusi kreatif pengentasan kemacetan. Padahal, realitas dalam perjalanannya, busway hanya sebuah upaya pengalihan kemacetan; yang awalnya masyarakat Jakarta dibuat macet di atas kendaraan bermotor di jalan raya, kemudian dialihkan di dalam terminal dan busway. Intinya, kemacetan tetap menjadi problem di Jakarta. Itulah yang oleh kalangan arsitek post-modernism dan neo-modernism kemudian disebut sebagai upaya destruktif semata.

Akhirnya, ada baiknya jika sebelum membangun perkotaan kita merenungkan salah satu perkataan Lao Tze yang berbunyi, "Kita membuat bejana dari segenggam lempung. Dan, ruang kosong di dalam bejana itulah yang membuatnya berfungsi." Sehingga kota tak hanya menjadi semacam tempat mengadu nasib yang dibangun dan dikelola secara semrawut dan ditinggalkan setelah benar-benar terasa semrawut. Karena itu, rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta sama sekali bukanlah solusi kreatif bagi semrawutnya Jakarta. Itu hanyalah bentuk pemindahan kesemrawutan yang juga bersifat destruktif.

Solusi kreatifnya adalah dengan membangun dan mengelola kota secara berkualitas berbasis kemanusiaan, bukan hanya ekonomis-pragmatis. Sehingga kota bukan hanya menjadi artefak material, melainkan juga konstruksi kemanusiaan yang terbangun dalam tatanan obyektif yang terbuka terhadap perspektif majemuk sekaligus menuntut adanya kehadiran fisik yang bersifat permanen, koherensi yang konseptual, dan kontinuitas persepsi yang disangga oleh tradisi masyarakat. Maka pada akhirnya kota bukan hanya menjanjikan secara ekonomi, tapi juga menjamin kemajemukan dan tradisi masyarakatnya serta memiliki nilai historis yang dapat diwariskan bagi masyarakat selanjutnya.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/08/29

Tidak ada komentar: